REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Kaya atau miskin bukanlah sebuah dosa yang harus dihindari. Ketika Allah SWT meluaskan rezeki seseorang, bukanlah sebuah jebakan untuk menyeretkan ke dalam neraka. Sebaliknya, ketika Allah SWT menyempitkan rezeki hamba-Nya, belum tentu menjadi jaminan atas surga-Nya. Semua akan kembali kepada bagaimana menyikapinya.
Rasanya kurang tepat kalau dikatakan bahwa Muslim ideal itu adalah yang miskin saja atau yang kaya saja. Demikian dijelaskan KH Ahmad Sarwat Lc dalam laman Rumah Fiqih.
KH Ahmad Sarwat menjelaskan, yang ideal adalah yang miskin tapi bersabar, dan yang kaya tapi banyak bersedekah serta bersyukur. Keduanya telah dicontohkan langsung oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya.
Abu Bakar As-Shiddiq, Utsman bin Al-Affan, Abdurrahman bin Al-Auf Radhiwallu anhum adalah tipe-tipe sahabat Nabi SAW yang diluaskan rezekinya oleh Allah SWT. Bahkan Umar bin Al-Khattab pun pernah diberikan kekayaan yang luar biasa berlimpah. Namun, yang paling kaya di antara semua itu adalah Rasulullah SAW sendiri.
Siapa bilang Rasulullah SAW itu miskin dan tidak punya penghasilan? Bahkan dibandingkan dengan saudagar terkaya di Madinah, pemasukan Rasulullah SAW jauh melebihinya.
Memangnya apa sih profesi Nabi Muhammad SAW? Nabi Muhammad SAW bukan pedagang. Dahulu sewaktu belum diangkat menjadi Nabi, memang beliau pernah menekuni profesi sebagai pedagang. Tapi profesi itu sudah tidak lagi beliau jalani setelah itu, terutama setelah beliau diangkat jadi Nabi.
Pemasukan Nabi Muhammad SAW adalah dari ghanimah (harta rampasan perang), di mana oleh Allah SWT beliau diberikan hak istimewa atas setiap harta rampasan perang. Jika suatu kota atau negeri ditaklukkan oleh kaum Muslimin, maka beliau punya hak 20 persen dari pampasan perang. Hak ini menjadikan Rasulullah SAW sebagai orang dengan penghasilan terbesar di Madinah. Rampasan perang itu bukan harta yang sedikit, sebab terkait dengan semua aset-aset yang ada di negeri yang ditaklukkan.