Ahad 01 Sep 2024 12:18 WIB

Reaksi Persis Soal Surat Seorang Dokter ke RS Medistra terkait Dugaan Pembatasan Jilbab

Persis tanggapi surat seorang dokter ke RS Medistra terkait dugaan pembatasan jilbab.

Rep: M Hafil / Nashih N/ Red: Muhammad Hafil
Jilbab (ilustrasi)
Foto: Republika/Wihdan Hidayat
Jilbab (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Umum Persis KH Jeje Zainuddin menanggapi soal dugaan pembatasan pemakaian jilbab bagi tenaga kesehatan di RS Medistra di Jakarta. Persis menyayangkan adanya dugaan tersebut.

"Kami sangat menyayangkan masih terjadi kasus pelarangan memakai jilbab di institusi apapun, termasuk di Rumah Sakit," ujar Kiai Jeje, Ahad (1/9/2024).

Baca Juga

Kiai Jeje memberikan masukan untuk menghindari terulangnya kasus pelanggaran HAM terhadap karyawan di RS maupun di institusi apapun.

"Maka salah satu caranya adalah harus ada aturan atau regulasi dari lembaga yang menjadi atasan atau yang memayunginya agar hak-hak berpakaian santun dan pakaian yang diperintah agama dihormati dan dilindungi ditempat kerja dengan sanksi yang tegas," ujar Kiai Jeje.

Sebelumnya, Pakar Hukum Pidana, Hibnu Nugroho, mengatakan pelarangan jilbab di ranah pekerjaan merupakan hal yang keliru. Sebab, konteksnya dinilai tidak bertentangan dalam prinsip hukum.

"Kalau dilihat dari ranah umum, seperti dalam ranah pekerjaan, tentunya pelarangan jilbab ini keliru. Karena hukum di negara kita tidak begitu, kita kan negara Pancasila," kata Hibnu saat dihubungi Republika pada 21 Februari 2024 lalu.

Menurut Hibnu, masyarakat Indonesia harus melihat dan memahami bahwa Indonesia adalah negara yang berlandaskan Pancasila. Sehingga keragaman terkait dengan agama harus diterima sesuai dengan konteksnya masing-masing.

Ia menjelaskan, ketika dalam konteks adat ataupun ritual keagamaan, pelarangan jilbab di daerah tertentu tentunya sah-sah saja. Namun, kata dia, jika dalam konteks umum seperti pekerjaan maka pelarangan jilbab tidak dibenarkan.

Dia pun menyarankan agar instansi memberikan rujukan hukum mengenai hal ini. Yakni mana yang menjadi kepentingan hukum adat, hukum agama, dan hukum umum.

Sementara, pakar Hukum Universitas Indonesia Heru Susetyo menilai, pelarangan jilbab terhadap pramugari oleh maskapai dinilai sebagai hal yang diskriminatif. Tak hanya itu, Garuda Indonesia sebagai maskapai pelat merah yang masih melakukan pelarangan pun dinilai telah melakukan langkah mundur.

Menurutnya, penggunaan jilbab di Indonesia dalam ranah pekerjaan diperbolehkan dalam hukum. Indonesia sebagai negara yang berdasarkan Pancasila dengan sila pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, mempersilakan bagi warganya untuk melaksanakan perintah agama dalam keseharian.

“Sehingga ekspresi beragama itu ya jangan dilarang selama itu memang tidak melanggar Undang Undang juga." ujarnya.

Dia menegaskan bahwa yang melanggar Undang Undang justru hal-hal yang berkaitan dengan pornografi. Menurut dia, justru berpakaian seksi dalam penggunaan seragam kerjaah yang harusnya dibatasi.

 
 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement