REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laman Temple Institute menjelaskan detail prosesi yang mesti dijalani mereka berkaitan dengan ritual sapi merah (red heifer). Pertama-tama, tentu saja hewan itu harus terlebih dahulu ditemukan dan didatangkan. Selanjutnya, para rabi wajib terbebas dari segala najis agar mereka bisa menjalankan amalan penyembelihan ini.
Dalilnya adalah Kitab Bilangan, salah satu bagian dari Taurat atau Perjanjian Lama. Dalam surat ke-19, ayat ke-18 dan 19, dijelaskan sebagai berikut.
"Dan orang yang tahir harus mengambil hisop, mencelupkannya ke dalam air, dan memercikkannya ke atas tenda, dan ke semua perkakas, dan ke atas orang-orang yang ada di sana, dan ke atas orang yang menyentuh tulang, atau orang yang terbunuh, atau orang yang terbunuh. mati, atau kuburan.
Dan orang yang tahir harus memerciki orang yang najis pada hari ketiga dan hari ketujuh; dan pada hari ketujuh dia harus menyucikannya; dan dia harus mencuci pakaiannya, dan mandi dengan air, dan menjadi tahir.”
Merujuk pada dua ayat dalam Kitab Bilangan itu, “najis” didefinisikan sebagai segala jasad manusia yang telah mati, termasuk tanah yang terkena olehnya. Maka, orang yang najis berarti mereka--orang Yahudi--yang menyentuh apa pun yang bersentuhan dengan jasad manusia.
Para rabi yang bertugas menyembelih red heifer pun dilarang menyentuh tanah secara langsung. Sebab, tanah mungkin saja menjadi tempat dikuburkannya jenazah orang-orang dahulu. Tentunya, mereka juga terlarang pernah menyentuh mayat.
Para rabi Yahudi yang akan memotong sapi merah bukanlah orang sembarangan. Mereka, demikian klaim Temple Institute, harus merupakan keturunan Nabi Harun, saudara Nabi Musa. Pakaian yang akan mereka kenakan juga telah dirancang khusus oleh institut ini.
Karena tanah dianggap mengandung “najis”, penyembelihan sapi merah dilakukan di atas altar batu. Sebuah jembatan batu juga akan dibangun untuk menghubungkan lokasi penyelenggaraan ritual dan bukit tempat “tanah yang dijanjikan”, yakni kompleks Masjid al-Aqsha kini.
Yahudi Heredi percaya, pemotongan sapi merah mesti dilaksanakan di atas Bukit Zaitun, sambil orang-orang Israel menghadap ke arah “tanah yang dijanjikan.” Letak bukit ini berada persis di seberang Masjid al-Aqsha. Selain itu, air yang nantinya digunakan untuk memerciki mereka juga berasal dari mata air Siloam, salah satu oasis di Baitul Makdis.
Setelah sapi merah disembelih, seluruh bangkai hewan itu dibakar. Abunya kemudian dicampur dengan air dari oasis Siloam, di dekat Baitul Makdis. Proses ini diperkirakan berlangsung tujuh hari penuh hingga menghasilkan ribuan galon air yang telah bercampur abu bangkai sapi merah.
Air itulah yang akan dipakai untuk memandikan tiap orang Yahudi atau dipercikkan pada mereka. Temple Institute meyakini, abu bangkai sapi merah bila dicampurkan dengan air dari oasis Siloam bisa bertahan hingga 100 tahun. Karena itu, proses pemandian atau pemercikan ini bisa dilakukan dari generasi ke generasi.
Setelah “disucikan”, barulah orang-orang Israel diizinkan untuk membangun Haikal Sulaiman di atas “tanah yang dijanjikan.” Dengan kata lain, mereka benar-benar memulai penghancuran total Masjid al-Aqsha.
Dalam membangun kuil yang diidam-idamkan ini, orang-orang Yahudi dilarang oleh kitab mereka untuk menggunakan besi. Mereka harus memakai batu. Karena itu, Temple Institute sudah lama mempersiapkan pelbagai bagian dari kuil yang hendak mereka bangun. Seperti diri mereka, perkakas dan bagian-bagian bangunan kuil itu pun harus disucikan terlebih dahulu dengan air campuran abu bangkai sapi merah.