REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Khasiat kopi sudah menjadi topik para ilmuwan sejak zaman dahulu. Pada abad ke-10 M, saintis Muslim Ibnu Sina (980-1037) membahas efek kopi dalam perspektif medis. Itu diungkapkan melalui karyanya, Al-Qanun fi al-Tibb.
Ahli kedokteran yang fasih berbahasa Persia itu menerangkan bahwa kopi berasal dari Yaman. Tumbuhan itu sudah banyak ditanam di Jazirah Arab dan sekitarnya pada zamannya hidup.
Lebih jauh, Ibnu Sina juga mengklasifikasi jenis-jenis kopi. Menurutnya, kopi yang baik dan unggul mesti berwarna kuning dan bobotnya ringan. Adapun kopi berwarna putih dan cenderung berat adalah yang buruk.
Ibnu Sina mengakui beberapa manfaat meminum air kopi, semisal dapat mempertahankan kesehatan tubuh, membuat kulit menjadi bersih, dan mengurangi kelembapan kulit. Aroma kopi juga dinilainya menstimulus kesehatan tubuh dan pikiran.
Selain kelompok sufi, para jamaah haji juga berjasa dalam memopulerkan kopi ke seluruh dunia. Abdul Qadir al-Jaziri, yang menulis Umdat Al-Safwa pada 1587, menceritakan penyebaran kopi di dunia Islam. Katanya, kopi sampai di Makkah pada abad ke-15 M.
Kedai-kedai kopi marak bermunculan di kota yang selalu ramai tiap musim haji. Pengunjungnya tidak hanya dari kalangan warga setempat, tetapi para jamaah haji dari berbagai negeri. Mereka mencicipi kopi dan terkesan akan rasa minuman tersebut.
Abdul Qadir juga menuliskan ihwal persiapan, penggunaan, kebaikan, dan manfaat dari meminum kopi. Dikatakannya pula, setelah kopi mencapai Makkah dan Madinah, para jamaah haji dan para pedagang menyebarkannya ke wilayah Islam lainnya.
Hanya saja, keberadaan kedai-kedai mulai mengundang kecurigaan rezim penguasa. Ada tuduhan bahwa kedai berperan sebagai titik temu kelompok-kelompok yang ingin menghasut tatanan politik masyarakat. Karenanya, cukup banyak kedai yang dipaksa tutup, termasuk kasus pada 1511.
Benih-benih dari apa yang kini marak disebut sebagai parisian café sudah tampak pada zaman keemasan Islam. Abdul Qadir dalam karyanya tersebut menyuarakan arti penting kedai-kedai kopi sebagai tempat pertemuan publik.
Di dalamnya, orang-orang dapat bertemu, mengobrol, bertukar pikiran, atau bahkan mengadakan diskusi tentang suatu persoalan publik. Tidak mengherankan bila kedai-kedai kopi pada masa itu banyak menjadi magnet bagi kaum Muslim dari kalangan cendekiawan dan penulis.
Kopi menjadi minuman yang terkenal hampir di seluruh negeri Arab yang dikuasai Dinasti Turki Usmani. Sebut saja, Mesir, Suriah, dan Irak. Sumber menga takan, kopi masuk ke Mesir melalui tangan seorang mahasiswa asal Yaman yang belajar di Universitas al-Azhar pada abad ke-16 M.
Dia membawa bahan minum an itu untuk membantu meningkatkan stamina saat berzikir dan belajar tiap malam. Di Turki sendiri, kedai kopi pertama bernama Kiva Han yang berdiri di Istanbul pada 1475. Sejak abad ke-17, popularitas kopi mulai menggurita hingga ke Eropa, melalui Venice, Marseilles, Amsterdam, London dan Wina.