Jumat 23 Aug 2024 19:05 WIB

Baru Saja Masuk Islam, Haruskah Berganti Nama?

Tak jarang mualaf yang memutuskan ganti nama begitu masuk Islam.

Mualaf/Ilustrasi
Foto: ROL/Ilustrasi Mardiah
Mualaf/Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di antara "tradisi" sebagian orang yang baru memeluk Islam adalah mengubah nama asli mereka. Tujuannya agar nama baru menjadi terdengar lebih "islami." Kebiasaan demikian tidak hanya marak dijumpai di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain.

Ada banyak alasan mengapa mereka memutuskan ganti nama. Salah satunya adalah agar perpindahan agama tersebut memberikan makna dan totalitas berhijrah.

Baca Juga

Apakah dalam Islam dituntut segara berganti nama jika berikrar syahadat? Dan, apakah mengubah nama tersebut termasuk syarat masuk Islam?

Lembaga Fatwa Mesir, Dar al-Ifta, merujuk pada deretan hadis Nabi Muhammad SAW dan pendapat para ulama. Pihaknya menegaskan bahwa mengubah nama bukanlah syarat utama bagi seseorang masuk Islam.

Mayoritas ulama sepakat bahwa syarat dasar berislam dan beriman adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Bukan hanya pengucapan dengan lisan, melainkan juga secara bersamaan meyakini dalam hati dan kemudian membuktikannya dengan amal perbuatan.

Dalam hadis riwayat Bukhari dari Abdullah bin Umar RA, Rasulullah SAW menyatakan, Islam dibangun di atas lima fondasi utama. Kelimanya adalah mengucapkan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa Ramadhan, dan berhaji.

Dengan demikian, syarat mutlak berislam adalah melepaskan keyakinanannya yang lama.

Jika ia seorang Nasrani, misalnya. Maka, yang bersangkutan mesti menanggalkan keimanannya tentang hakikat Yesus dan mengamini status Nabi Isa AS bin Maryam.

Demikian juga, mereka yang memeluk Islam tidak disyaratkan untuk bisa berbahasa Arab. Tak ada sama sekali syarat itu.

Namun, menurut lembaga ini, penggantian nama tersebut termasuk kebiasaan di masyarakat. Kemudian, tak mengapa mengikuti tradisi itu. Tradisi demikian termasuk perkara yang berdampak positif.

Dan, dalam kaidah agama, "al-‘adah muhakkamah." Posisi sebuah tradisi yang baik di masyarakat bisa dianggap sebagai salah satu rujukan hukum dalam syariat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement