Ahad 18 Aug 2024 09:11 WIB

Kalimat Syahadat Panglima Batur Saat Syahid di Tiang Gantungan

Batur merupakan ahli strategi perang yang cerdik.

Monumen Panglima Batur
Foto: Antara
Monumen Panglima Batur

REPUBLIKA.CO.ID, Indonesia seakan tidak pernah kekurangan pejuang-pejuang Muslim yang militan dalam membela negara dari penjajahan. Mereka rela mengorbankan harta benda dan nyawanya demi menegakkan tauhid di bumi pertiwi. 

Dari sekian banyak pahlawan Indonesia yang religius adalah Panglima Batur. Ia pejuang Muslim kebanggaan tanah bumi pertiwi dari Indonesia timur. Bersama Pangeran Muhammad Saman, anak Pangeran Antasari, ia berjuang melawan Belanda tanpa lelah menyelamatkan Indonesia dari penjajahan.

Baca Juga

BACA JUGA: Jessica Wongso Bebas Hari Ini, Berikut Kilas Balik Kasus Kopi Sianida yang Menghebohkan

Batur yang lahir pada 1852 ini merupakan pejuang yang hidup pada Kesultanan Banjar. Pada saat berdirinya Kesultanan Banjar, semua suku ada di dalam teritorial Kesultanan Banjar. Suku Banjar, Bukit, dan Dayak (Dayak  Dusun, Ngaju, Kayan, Siang, dan Bakumpai), baik yang beragama Islam maupun masih menganut kepercayaan Kaharingan, bahu membahu melawan penjajah.

Keikutsertaan Batur sebagai pasukan dimulai sejak usia belia. Ia masuk dalam daftar prajurit belia saat Perang Banjar meletus pada 1859 hingga ke Sungai Barito.   Ia menjadi tentara yang dipersiapkan oleh Pangeran Antasari. Sang Pangeran terkenal sebagai pimpinan perang yang sangat disegani karena mampu menyatukan pejuang dari berbagai etnis mengusir penjajah. 

Setelah sang pangeran meninggal, perjuangan dilanjutkan putranya, Sultan Muhammad Saman. Batur menjadi pengikut setia Sultan Muhammad Saman. Berada di bawah kepemimpinan sang sultan, Batur mendapatkan kepercayaan sebagai ahli strategi perang yang cerdik.

Keduanya saling membantu mempertahankan benteng terakhir di Sungai Maniwang dari serangan Belanda. Benteng tersebut satu-satunya pertahanan rakyat Banjar yang tersisa ketika itu.

Dalam masa-masa kritis tersebut, suatu saat, Panglima Batur mendapatkan perintah pergi ke Kesultanan Banjar untuk mengambil mesiu tambahan sebagai modal pertahanan benteng. 

Kepergian Panglima Batur dalam menghadap raja dimanfaatkan Belanda untuk menyerang Benteng Maniwang. Pasukan Belanda yang dipimpin Letnan Chirstofel, letnan yang terkenal kejam dan berpengalaman dalam Perang Aceh menyerang Benteng Maniwang pada 1905.

Serangan tersebut sangat dahsyat dan berakibat fatal. Kekuatan yang tak seimbang menyebabkan kerugian material dan korban jiwa. Benteng Maniwang hancur dan Pangeran Saman gugur. 

Mendengar kabar duka itu, Batur segera pulang menuju benteng. Betapa kaget, begitu ia menyaksikan kehancuran di mana-mana. Ia menangis. 

Mesiu tambahan yang sudah ia dapatkan rasanya semakin tidak berguna saat ia melihat seluruh rekan perjuangannya gugur di medan perang, Panglima Bantur menangis kencang. Ia menangisi sikap kesatria rekan-rekan seperjuangannya yang gugur mengorbankan nyawa, keringat, dan perjuangan mereka sebagai saksi kecintaan terhadap Tanah Air.   

Setelah ditinggalkan Pangeran Saman, Batur satu-satunya pemimpin perjuangan yang masih bertahan. Ia yang dikenal sangat teguh dengan pendiriannya dan sangat patuh terhadap sumpah tidak rela melihat anak buah atau keluarganya menderita dijadikan umpan untuk menangkapnya.

 

Siasat licik Belanda.. Baca halaman selanjutnya.. 

 

sumber : Pusat Data Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement