REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Banyak produk untuk barang gunaan yang dipakai sehari-hari menggunakan bahan dari kulit babi. Bagaimana hukumnya?
Dikutip dari laman resmi MUI, Rabu (7/8/2024) Laboratory Service Expert of LPPOM MUI, Dr Priyo Wahyudi, M.Si., menjelaskan bahwa pada asal muasalnya, pakaian sejak awal peradaban, manusia menggunakan kulit hewan untuk menjadi bahan pakaiannya.
Orang Neanderthal, misalnya, telah menggunakan kulit hewan untuk menjaga tubuh supaya tetap hangat dan kering. Kemudian, penggunaan bahan untuk pakaian terus berkembang sekitar 5.000 SM menggunakan serat alam (tumbuhan) serta katun berbahan tumbuhan dan wol dari bulu domba. Setelahnya, peradaban Tiongkok memperkenalkan sutra dari kepompong ulat pada 4.000 SM.
Berkait dengan pemanfaatan kulit hewan, Islam mengatur bahwa kulit hewan dapat dimanfaatkan untuk barang gunaan. Hal ini, salah satunya, telah dibahas dalam Fatwa MUI Nomor 56 Tahun 2014 tentang Penyamakan Kulit Hewan dan Pemanfaatannya disebutkan bahwa memanfaatkan kulit bangkai hewan yang ma’kul lahm (dagingnya boleh dimakan) maupun yang ghairu ma’kul lahm (dagingnya tidak boleh dimakan) untuk barang gunaan, hukumnya mubah (boleh) setelah disamak.
Hal ini terkecuali untuk kulit anjing, babi, dan yang terlahir dari kedua atau salah satunya.
Hal tersebut ditekankan kembali pada Fatwa MUI Nomor 15 Tahun 2021 tentang Standar Sertifikasi Halal Barang Gunaan Berbahan Hewani. Secara spesifik, fatwa ini menjelaskan tata cata penyamakan sesuai syariat Islam, yakni:
Jenis hewannya adalah hewan selain babi dan anjing atau yang lahir dari keduanya atau salah satunya;
1. Menggunakan sarana untuk menghilangkan lendir dan bau anyir yang menempel pada kulit
2. Menghilangkan kotoran yang menempel di permukaan kulit, dan
3. Membilas kulit yang telah dibersihkan untuk mensucikan dari najis
“Jadi, standar atau pedoman sertifikasi halal barang gunaan berbahan hewani sudah sangat lengkap dan jelas tertuang di Fatwa MUI yang ada. Dalam dua fatwa tersebut jelas disebutkan bahwa kulit babi atau yang ramai ditandai dengan label ‘pig skin’ hukumnya haram digunakan,” jelas Priyo.
Selain asal muasal hewan, bahan tambahan dan penolong yang digunakan pun tidak boleh mengandung najis, seperti pewarna, bahan kimia, maupun (jika ada) enzim.
Di samping tertuang secara jelas dalam Fatwa MUI, kewajiban sertifikasi halal bagi barang gunaan juga telah diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal beserta turunannya. Wajib sertifikasi halal diberlakukan bagi produk yang beredar di Indonesia.
Barang gunaan merupakan salah satu produk wajib bersertifikat halal, yang terbagi menjadi barang gunaan yang dipakai, barang gunaan yang digunakan, dan barang gunaan yang dimanfaatkan. Implementasi wajib sertifikasi halal bagi barang gunaan sedang memasuki masa transisi dan diberlakukan pada 2026.
Sayangnya, belum banyak produk barang gunaan yang sertifikasi halal. Namun, Priyo menegaskan bahwa sebenarnya produk kulit dapat diidentifikasi.
“Meski agak sulit mendeteksi melalui kasat mata, tapi identifikasi masih memungkinkan untuk dilakukan. Selain memperhatikan label pada produk, konsumen juga dapat memperhatikan pola yang muncul pada permukaan kulit. Untuk kulit babi akan menunjukan pola segitiga dengan tiga titik,” jelasnya.
Pihaknya juga memaparkan bahwa pilihan yang paling rasional adalah menguji produk barang gunaan di laboratorium. Melalui pengujian laboratorium, maka sebuah produk dapat diidentifikasi dan diotentikasi sumber bahan dan produk kulitnya.
Sumber: MUI