REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada suatu ketika, Kekaisaran Romawi Timur (Bizantium) mengutus seorang duta ke Madinah, ibu kota kekhalifahan Islam. Tujuannya adalah menemui Khalifah Umar bin Khattab.
Setelah menempuh perjalanan panjang, akhirnya duta tersebut tiba di Kota Nabi. Ia pun mencari-cari alamat istana sang amirul mukminin.
Dalam benaknya, daulah Islam adalah negeri yang besar dan bahkan sukses menaklukkan Imperium Persia. Maka, pasti sang khalifah tinggal di sebuah istana yang megah.h.
Berbagai jalan dilaluinya di Madinah. Namun, upayanya sia-sia.
Akhirnya, duta Bizantium ini bertanya kepada orang-orang di pasar. “Di manakah istana Raja Umar?” tanyanya.
Mendengar pertanyaan itu, mereka terheran-heran. “Raja Umar? Istana?” kata seorang dari mereka.
“Amirul Mukminin tidak tinggal di istana!” sahut seorang pedagang.
“Kalau begitu, di mana bentengnya?” tanya si duta Bizantium.
“Tidak ada. Amirul Mukminin juga tidak punya benteng,” sambung si penjawab.
“Jadi, di mana raja kalian tinggal!?”
“Engkau bisa dengan mudah menemukannya karena lokasi rumahnya dekat dari sini,” jawab seorang warga.
Kemudian, seseorang memberi petunjuk arah kepada duta Bizantium itu. Mendengar penuturannya, orang Romawi ini terkejut karena alamat itu berada di kawasan permukiman warga biasa.
Ya, rumah Khalifah Umar tidak ubahnya rumah-rumah rakyat. Maka duta itu meneruskan langkahnya, sesuai petunjuk tadi.
Setibanya di tujuan, orang Romawi ini lagi-lagi terkejut. Ia mendapati seorang lelaki sedang tidur di bawah pohon kurma, persis di depan rumah yang kata warga adalah milik Khalifah Umar.
Dilihatnya, laki-laki yang sedang tidur itu hanya beralas batu-batu kecil atau kerikil. Pakaian yang dikenakannya pun terdapat beberapa tambalan. Begitu jelek, bila dibandingkan dengan baju yang sedang dipakai si duta Bizantium.
“Siapa orang kumuh ini? Apakah penunjuk jalan tadi memberi keterangan yang salah kepadaku?” batin si utusan Romawi.
“Salam, apakah benar ini rumah Raja Umar?” katanya sambil menghampiri dan membangunkan si lelaki.
“'Umar bin Khattab', maksudmu? Saya sendiri Umar,” jawab lelaki yang berbadan tegap itu. Ia terbangun begitu mendengar seorang mengucapkan salam kepadanya.
“Tidak mungkin seorang raja berpakaian jelek seperti kamu! Mustahil seorang yang kekuasaannya terbentang dari Mesir dan bisa menaklukkan Persia tidur-tiduran di bawah pohon dengan beralas kerikil!” timpalnya.
“Aku adalah Umar, amirul mukminin," kata lelaki itu lagi, "dan aku sedang menunggu bajuku kering sehingga di sini (tertidur)."
Melihat lawan bicaranya hanya diam, Umar pun berkata lagi untuk menjelaskan, "Penampilanku seperti ini supaya rakyat dengan mudah menemui dan mengadu padaku. Terlebih lagi, semua ini kulakukan dengan mencontoh kekasihku, Rasulullah SAW.”
Menurut Ustaz Ahmad Syahirul Alim dalam artikelnya, “Istana Sang Khalifah” (2011), sifat-sifat Umar yang egaliter itu mengikuti suri teladan Rasulullah SAW.
Dahulu, Umar pernah menemui Nabi SAW ketika beliau bangun dari pelepah kurma tempatnya berbaring. Sahabat berjulukan al-Faruq itu melihat remah-remah pelepah kurma membekas di punggung Nabi SAW.
Ia pun menangis. Dengan lembut Nabi SAW bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Umar menjawab: “Wahai Rasulullah, sungguh Raja Kisra dan Kaisar Romawi dalam keadaan kafir dan mereka bergelimang harta. Adapun engkau ialah Utusan Allah (tetapi tidak memiliki apa-apa).”
Dengan bijak, Nabi SAW bersabda: “Wahai Umar, tidakkah engkau ridha jika mereka mendapat dunia dan bagi kita akhirat?”
Demikianlah, pelajaran ihwal kesederhanaan seorang pemimpin ini tidak pernah dilupakan oleh Umar bin Khattab al-Faruq seumur hidupnya.