REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alquran surah adz-Dzariyat ayat ke-24 hingga 34 mengajarkan perihal adab memuliakan tamu. Surah Makkiyah itu mengisahkan keteladanan Nabi Ibrahim AS. Sang Kekasih Allah (Khalilullah) itu mempersilakan para tamunya masuk ke dalam rumahnya yang sederhana.
Prof Raghib as-Sirjani dalam Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia (2011), menjelaskan diam-diam, dia menemui keluarganya agar mempersiapkan hidangan istimewa, daging anak sapi yang gemuk, sebagai jamuan untuk mereka.
Belakangan diketahui bahwa tamu-tamu itu adalah para malaikat yang diutus Allah SWT untuk mengabarkan kelahiran Nabi Ishaq AS dan azab yang akan menimpa kaum Sodom sebagai balasan telah mengingkari dakwah Nabi Luth AS.
Adab yang diwariskan Nabi Ibrahim AS itu terus hidup di tengah bangsa Arab praIslam, khususnya yang berpegang pada monoteisme (tauhid). Ka'bah yang didirikannya bersama dengan Nabi Ismail AS menjadi situs sakral yang rutin dikunjungi orang-orang dari pelbagai penjuru.
Oleh karena itu, siapa pun yang mengurus Baitullah tersebut akan dipandang terhormat bagi seluruh bangsa Arab. Sejak abad kelima, Qushay menguasai Makkah sehingga berhak menangani segala urusan Ka'bah. Pasca-meninggalnya leluhur kaum Quraisy itu, wewenang tersebut diwariskan kepada putra sulungnya, Abdud Dar, kakak Abdul Manaf.
Setelah Abdul Manaf wafat, mulai terjadi pertentangan di antara para elite Quraisy. Untuk menghindari konflik, disepakatilah pembagian tugas. Keturunan Abdul Manaf menangani penyambutan jamaah haji, sedangkan keturunan Abdud Dar memegang panji politik.
Hasyim bin Abdul Manaf ditetapkan sebagai penanggung jawab logistik bagi para peziarah Ka'bah. Setelah Hasyim wafat, kedudukan itu diteruskan oleh saudaranya, Abdul Muthalib bin Hasyim-kakek Nabi Muhammad SAW.
Pada masa permulaan dakwah Islam, tugas mulia itu dilakukan putra-putra Abdul Muthalib, termasuk Abbas, paman Nabi. Sesudah pembebasan Makkah (Fathu Makkah), semua keputusan tentang pemeliharaan Ka'bah ada di tangan Rasulullah SAW.
Sejak saat itu, tidak ada perubahan yang signifikan dalam tata cara menyambut para jamaah, kecuali bahwa semua berhala di sekitar Ka'bah dan pelbagai ritual syirik yang sebelumnya mewarnai ibadah haji dimusnahkan sama sekali.
Tentu saja melayani para tamu Masjid al-Haram tidak hanya meningkatkan prestise, tetapi juga faktor materi. Setiap bulan Dzulhijjah, pendapatan warga Makkah otomatis naik lantaran tingginya permintaan (demand) barang-barang kebutuhan.
Berbeda umpamanya dengan Madinah yang bertanah subur, Makkah sangat mengan dalkan sektor perdagangan untuk menggerakkan ekonomi. Oleh karena itu, penduduk setempat mementingkan sikap terbuka dan ramah terhadap kafilah-kafilah dari luar, termasuk para jamaah haji.
Ada banyak hadis sahih yang mengajarkan keutamaan memuliakan tamu, tanpa memandang kaya atau miskin. Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia memuliakan tamunya” (HR Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah).
Abu Syaikh meriwayatkan, beliau telah memperingatkan kaum Muslimin:
إِذَا دَخَلَ الضَّيفُ عَلَى قَومٍ دَخَلَ بِرِزْقِهِ وَإِذَا خَرَجَ خَرَجَ بِمَغْفِرَةِ ذُنُوبِهِمْ
“Tamu datang dengan membawa rezekinya dan pergi dengan menghapus dosa-dosa kalian. Dan, Allah menghapus dari dosanya dan dosa-dosa kalian.”
Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi Muhammad SAW menjelaskan, Allah memberikan pahala setara haji dan umrah kepada seorang Mukmin yang menjamu tamunya setiap kali suap makanan yang diterima tamu. Dalam sebuah riwayat yang disebutkan lemah, dijelaskan sebagai berikut:
الضَّيفُ إِذَا دَخَلَ بَيتَ المُؤمِنِ دَخَلَتْ مَعَهُ أَلْفُ بَرَكَةٍ وَأَلْفُ رَحْمَةٍ وَيَكْتُبُ اللهُ تَعَالَى لِصَاحِبِ المَنْزِل بِكُلِّ لُقْمَةٍ يَأكُلُهَا الضَّيفُ حَجَّةً وَعُمْرَةً
“Jika ada tamu yang masuk ke dalam rumah seorang mukmin maka akan masuk bersama tamu itu seribu berkah dan seribu rahmat. Allah akan menulis untuk pemilik rumah itu pada setiap kali suap makanan yang dimakan tamu seperti pahala haji dan umrah.”