REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Komnas Haji, Mustolih Siradj mengatakan, minat masyarakat menunaikan ibadah haji tidak pernah surut. Akan tetapi karena keterbatasan kuota yang diberikan Arab Saudi selaku negara tuan rumah mereka yang mendaftar tidak bisa langsung berangkat, harus menunggu (waiting list).
Mustolih mengatakan, lamanya antrian di masing-masing daerah berbeda-beda, ada yang 15 tahun, 20 tahun, 30 tahun hingga 48 tahun baru bisa ke tanah suci. Saat ini kurang lebih ada 5,2 juta pendaftar haji.
"Calon jamaah haji reguler harus membayar uang muka (porsi) Rp 25 juta per orang, bagi jamaah haji khusus minimal 4.000 Dolar AS," kata Mustolih kepada Republika, Senn (29/7/2024).
Ia menjelaskan, setoran tersebut menimbulkan pengendapan dana kurang lebih Rp 170 triliun yang ditampung di rekening Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) kemudian diinvestasikan melalui berbagai instrumen, dimana hasil kelolanya berkisar antara Rp 6 triliun sampai Rp 10 triliun per tahun.
Muncul pertanyaan di masyarakat mengenai status kepemilikan dana setoran awal haji yang telah dibayarkan calon jamaah ke rekening BPKH. Termasuk dari hasil investasi dan bagaimana hak jamaah haji tunggu yang kelak baru akan berangkat haji puluhan tahun mendatang.
Merespon persoalan ini, dijelaskan Mustolih, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Komisi Fatwa se-Indonesia VIII menghasilkan keputusan hukum (fatwa) yang menyatakan mengambil dana calon jamaah haji lain tanpa persetujuan dan memanfaatkannya untuk menutupi kebutuhan pemberangkatan hukumnya haram. Pengelola yang mengambil dana calon jamaah haji dan memanfaatkannya untuk menutupi kebutuhan pemberangkatan jamaah haji lainnya hukumnya dosa.
Mustolih menerangkan, UU Nomor 34 tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangam Haji maupun UU Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji memberikan mandat, dana haji harus dikelola sesuai dengan syariat Islam yang menjamin bebas dri riba, gharar, dan maysir. Karena itu fatwa MUI menjadi sangat relevan.
"Komnas Haji menyambut baik Fatwa MUI ini karena mendorong efek ganda, pertama memberikan keadilan dan melindungi hak jutaan jamaah haji tunggu yang antri puluhan tahun serta menjamin keberangsungan pengelolaan dana haji," ujar Mustolih.
Mustolih menambahkan, kedua, menghentikan praktik skema ponzi (ponzi sceam) konsep yang digagas oleh Charles Ponzi pebisnis asal Amerika Serikat (AS), atas pengelolaan keuangan haji yang telah dianggap lumrah oleh BPKH sejak lembaga ini didirikan 2017.
Menurutnya, BPKH sebagai lembaga yang bertanggungjawab menerima setoran, mengelola dan menginvestasikan dana haji selama ini sangat meng-anak-emaskan jamaah haji yang berangkat lebih dahulu pada tahun berjalan dengan subsidi jorjoran puluhan juta rupiah berkisar Rp 37 juta sampai Rp 57 Juta per orang atau per jamaah haji.
"Adapun jamaah haji yang masih antri dianak-tirikan begitu rupa hanya diberikan bagian Rp 260 ribu sampai Rp 560 ribu per orang untuk setiap tahunnya dari hasil investasi yang didistribusikan melalui akun virtual (virtual account)," ujar Mustolih.
Mustolih menjelaskan, skema tersebut berpotensi menjadi bom waktu, jamaah haji waiting list terancam tidak dapat menikmati hasil investasi hasil kelola BPKH karena nilai manfaat habis terkuras untuk subsidi secara jorjoran guna menanggung biaya jamaah haji yang berangkat lebih dulu. Seolah-olah Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang dibayar jamaah murah, padahal biaya subsidi itu merupakan hak jutaan jamaah haji tunggu sebagai pemilik dana (shohibul mal) baik pokok maupun hasil investasinya.
"Jutaan jamaah haji tunggu tidak diberi tahu praktik ini oleh BPKH, sehingga wajar kalau kemudian Fatwa MUI memvonis tata kelola keuangan haji di BPKH saat ini haram dan dosa," ujar Mustolih.
Mustolih menegaskan, praktik semacam itu dari segi manapun sangat tidak adil, diskriminatif dan tidak sesuai dengan ketentuan syariat (syar’i).
Bahkan bila ditelisik lebih jauh, tata kelola dan skema biaya haji yang dibuat BPKH sangat identik dan menduplikasi apa yang telah dilakukan oleh travel-travel umroh yang pernah bermasalah yang merugikan ratusan ribu jamaahnya dan gagal umroh seperti First Travel dan Abu Tour. Sehingga menyeret pemiliknya masuk bui. Dana umroh dari calon jamaah yang mendaftar di belakang digunakan untuk menanggung biaya jamaah umroh yang lebih dulu daftar sehingga seolah-olah biayanya murah, padahal dibalik itu ada ribuan jamaah yang dikorbankan.