REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hadis merupakan sumber ajaran yang kedua di dalam Islam setelah Alquran. Prof Syuhudi Ismail dalam bukunya, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar, dan Pemalsunya (1995), mengutip pendapat alim ulama hadis, yakni Ibnu al-Shalah (wafat 1245) dan al-Nawawi (wafat 1277).
Mereka umumnya membagi kualitas hadis menjadi tiga macam, yakni sahih, hasan, dan dhaif. Syarat-syarat hadis sahih dan hasan hampir sama. Perbedaan keduanya, menurut Syuhudi Ismail, terletak pada tingkat dhabith periwayat.
Periwayat yang bersifat dhabith adalah yang kuat hafalannya tentang apa yang telah didengarnya serta mampu menyampaikan hafalannya itu kepada orang lain kapan saja dikehendakinya.
Hadis sahih sanadnya bersambung sampai kepada Nabi Muhammad SAW, diriwayatkan oleh orang yang bersifat adil dan dhabith serta terhindar dari kejanggalan dan cacat. Bobot kedhaifan sanad bisa saja terlalu parah. Misalnya, ada periwayat yang dikenal sering kacau hafalannya.
Syuhudi menerangkan, jika demikian terjadi, maka kualitas hadis yang bersangkutan dianggap berkualitas dhaif. Periwayat yang sering kacau hafalannya sulit dipercaya apa yang diriwayatkannya.
Untuk diketahui, penyebutan kacau tidaknya seorang periwayat tidak berarti menghakimi yang bersangkutan di depan umum. Sebab, hal itu berkaitan dengan maslahat yang lebih besar, yakni kepentingan umat Islam yang hendak bersandar pada hadis yang sungguh-sungguh bersumber dari Rasulullah SAW.
Definisi hadis palsu
Hadis palsu diistilahkan sebagai hadis maudhu'. Di tempat lain, istilahnya adalah muzayyaf. Syuhudi mendefinisikan hadis palsu sebagai "pernyataan, atau pernyataan-pernyataan, yang sesungguhnya bukanlah hadis Nabi SAW, tetapi beberapa kalangan menyebutnya sebagai hadis Nabi SAW."
Isi hadis palsu tidak selalu buruk atau bertentangan dengan ketentuan umum ajaran Islam. Namun, mengapa sampai ada hadis palsu?
Pertanyaan itu coba dijawab Ahmad Fuad Effendy dalam bukunya, Sudahkah Kita Mengenal Al-Quran? (2013: 251-252). Dia mengutip dari al-Qurtuby dalam pendahuluan kitab Al-Jami' li Ahkam al-Qur'an.
Menurut al-Qurtuby, orang-orang yang menciptakan hadis-hadis palsu dapat dibedakan menjadi empat kelompok.
Pertama, kelompok zindiq yang membuat hadis palsu atau menambahkan kalimat/frasa pada hadis sahih untuk menimbulkan kerisauan atau kebingungan di kalangan umat.
Kedua, pengikut fanatik sebuah mazhab atau golongan yang membuat hadis palsu untuk menguatkan mazhabnya.
Ketiga, orang-orang yang 'putus asa' dalam menganjurkan kebaikan. Dengan maksud baik membuat hadis palsu tentang suatu perbuatan, dia ingin agar umat Islam terdorong untuk melakukan perbuatan tersebut.
Fuad Effendy menilai, kelompok ketiga itu sering dijumpai dalam konteks pembahasan hadis-hadis palsu tentang keutamaan membaca surat-surat dari Alquran. Ambil contoh, "hadis" (dalam tanda kutip) berikut, yang diriwayatkan Abu Bakar al-Ajiri dari Abu Umamah al-Bahili.
"Barangsiapa membaca seperempat Alquran, berarti dia telah diberi seperempat kenabian. Barangsiapa membaca sepertiga Alquran, berarti dia telah diberi sepertiga kenabian. Barangsiapa membaca dua per tiga Alquran, berarti dia telah diberi dua per tiga kenabian. Barangsiapa membaca (seluruh) Alquran, berarti dia telah diberi kenabian."
Dari keterangan Syekh Muhammad Nashiruddin al-Albani, demikian Fuad Effendy, risetnya menyimpulkan, "hadis" di atas tidak sahih karena di dalam jalur periwayatan (sanad) terdapat nama Maslamah bin Ali, yang dinilai cacat (majruh) oleh para ahli hadis.
Adapun kelompok terakhir adalah para "peminta-minta" atau para pencari sedekah dengan cara membacakan "hadis-hadis" buatan sendiri, lengkap dengan sanad yang dipalsukan.