REPUBLIKA.CO.ID, Kehadiran Rabi Yaakov Baruch bersama dengan lima aktivis Nahdliyin yang menemui Presiden Israel Isaac Herzog yang berujung pada polemik beberapa waktu belakangan ini membuka mata publik mengenai keberadaan komunitas Yahudi di Nusantara.
Jika Rabi Yaakov Baruch berasal dari Minahasa dan mengaku merupakan blesteran Belanda Indonesia, jejak warga Yahudi juga pernah ditemukan di Nusantara bagian lainnya, yakni pulau Jawa.
Melacak keberadaan Yahudi di Nusantara, tak lepas dari ekspedisi Portugis. Setelah Portugis menemukan jalan ke India dan Asia Tenggara, banyak orang Yahudi—lebih dulu menjadi Kristen—terlibat dalam ekspedisi pada awal abad ke-16. Kebanyakan dari mereka tidak kembali, tapi bermukim di sepanjang pantai utara Sumatra dan Jawa.
Jumlah pemukim Yahudi Nusantara berkembang seiring kemunduran Portugis dan munculnya VOC—raksasa dagang Belanda—di nusantara pada 1602. Namun, tidak ada dokumen yang menyebut jumlah pemukim Yahudi pada awal pendirian Batavia. Setelah VOC bangkrut pada 1799, Pemerintah Hindia-Belanda juga tidak mencatat jumlah orang Yahudi di kota-kota di Jawa dan Sumatra.
VOC dan Pemerintah Hindia-Belanda memang menjalankan politik segregasi etnis, tapi tidak memisahkan Yahudi dari masyarakat Belanda. Politik segregasi hanya mencakup orang-orang China, inlander (pribumi), Arab, Moor, dan kulit putih non-Belanda.
Yahudi asal Belanda masuk ke dalam kelompok pemukim Belanda. Sedangkan, Yahudi yang datang dari Jerman, Prancis, Spanyol, Austria, Inggris, dan lainnya masuk kelompok masyarakat kulit putih non-Belanda. Namun, Yahudi yang datang ke Hindia-Belanda tidak hanya berasal dari Eropa, tapi juga dari wilayah Kekaisaran Utsmani, yaitu Irak. Komunitas Yahudi Shepardic di Surabaya berasal dari Irak dan menyebut diri Yahudi Baghdadi.
Terdapat indikasi pemerintah Hindia-Belanda mengintegrasikan mereka ke dalam masyarakat Arab. Rumah-rumah Yahudi Baghdadi di Surabaya, plus sinagog mereka, terdapat di lingkungan permukiman Arab.
Catatan dari Rabi Yacob Shapir...