REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Akhir-akhir ini, di berbagai platform media sosial, video yang menampilkan sosok Mama Ghufron mengundang kontroversi. Lelaki yang bernama asli Iyus Sugiman ini mengaku, antara lain, telah menulis ratusan kitab berbahasa Arab dan juga melakukan "video call" dengan malaikat maut. Ia juga berbicara dengan campuran bahasa Arab secara sepotong-potong, dengan kata-kata yang tidak bisa dimengerti.
Masih belum bisa dipastikan, mengapa dan bagaimana seorang Iyus Sugiman dapat menyandang gelar "mama." Dalam tradisi masyarakat Muslim Sunda, sebutan mama berarti ‘bapak.’ Biasanya, panggilan itu disematkan kepada seorang tokoh ulama, setara ajengan atau kiai.
Tentunya, Iyus bukan satu-satunya orang yang dipanggil "mama". Bahkan, banyak tokoh Muslim Sunda yang bergelar tersebut dan memang sangat layak untuk disebut demikian. Salah seorang di antaranya adalah Mama Sempur.
Mama Sempur merujuk pada sosok KH Tubagus Ahmad Bakri, seorang ulama besar dari daerah Purwakarta, Jawa Barat. Ia lahir pada 1839 M dari pasangan Syekh Tubagus Sayida dan Umi. Kakeknya dari jalur ayah, Tubagus Arsyad al-Bantani, merupakan mufti Kesultanan Banten. Silsilahnya juga sampai pada Sunan Gunung Jati dan bahkan Nabi Muhammad SAW melalui Sayyidina Husain bin Ali.
Dalam rihlah keilmuannya, Mama Sempur alias KH Tubagus Ahmad Bakri pernah berguru kepada sejumlah alim ulama. Di antaranya adalah Sayyid Utsman bin Aqil bin Yahya (Betawi), KH Soleh Darat (Semarang), Syekh Ma’sum bin Ali, Syekh Soleh Benda (Cirebon), Syekh Syaubari, dan KH Kholil Bangkalan (Madura).
Ahmad Bakri juga merantau ke Tanah Suci untuk menuntut ilmu. Di sana, ia berguru pada sejumlah ulama besar. Sebut saja, Syekh Ahmad Khatib, Syekh Mahfudz Tremas, Syekh Nawawi al-Bantani, dan Syekh Shalih al-Kaman (mufti mazhab Hanafi).
Pada 1911, ia menamatkan pendidikannya di Haramain dan pulang ke Tanah Air. Masyarakat Purwakarta menyambut kedatangannya dengan penuh suka cita. Sejak itu, KH Tubagus Ahmad Bakri mulai menyebarkan ilmunya dengan mendirikan pesantren.
Lembaga yang berlokasi di Darangdang, Desa Sempur, Kecamatan Plered, itu diberi nama Pondok Pesantren as-Salafiyyah. Inilah pesantren tertua di seluruh Purwakarta. Tidak hanya sibuk mengasuh ponpes, alim yang akrab disapa Mama Sempur itu juga menjadi guru tarekat di daerah tersebut.
Beberapa santri Mama Sempur yang berhasil menjadi ulama terkemuka di antaranya adalah KH Abuya Dimyati, KH Raden Ma’mun Nawawi, KH Raden Muhammad Syafi’i (Mama Cijerah), KH Ahmad Syuja’i (Mama Cijengkol), dan KH Izzuddin (Mama Cipulus).