Selasa 09 Jul 2024 15:53 WIB

Ketika Korban Fitnah Berdoa

Orang yang menebar fitnah sesungguhnya sedang menata penderitaan hidupnya sendiri.

ILUSTRASI Ketika korban fitnah berdoa. Foto - Seorang pria berdoa untuk Palestina di Masjid Pusat Lisbon, Portugal, Jumat, 13 Oktober 2023.
Foto: AP Photo/Armando Franca
ILUSTRASI Ketika korban fitnah berdoa. Foto - Seorang pria berdoa untuk Palestina di Masjid Pusat Lisbon, Portugal, Jumat, 13 Oktober 2023.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tatkala akan mengutus Mu'adz bin Jabal ke Yaman untuk berdakwah, Nabi Muhammad SAW berpesan kepadanya, "Takutlah kamu akan doa seorang yang dizalimi. Sebab, doa tersebut tidak ada penghalang (hijab) di antara dia dan Allah" (HR Bukhari dan Muslim).

Salah satu bentuk kezaliman adalah menebar fitnah. Memfitnah berarti melayangkan tuduhan kepada orang lain dengan keterangan palsu atau dusta secara sengaja. Tujuannya memberikan stigma atau kesan negatif sehingga wibawa dan reputasi orang yang menjadi sasaran fitnah jatuh, di hadapan pihak tertentu maupun mata publik.

Baca Juga

Bentuk dan motif fitnah bisa bermacam-macam. Misalnya, playing victim, yaitu mengumumkan diri sendiri sebagai "korban" dengan motif mencari simpati atau dukungan publik. Pada saat yang sama, ia pun melemparkan tuduhan bahwa pihak lawanlah yang melakukan kejahatan.

Biasanya, jenis fitnah itu sering kita temukan, baik di tengah masyarakat lokal maupun global. Kecanggihan teknologi informasi dan jejaring media sosial menjadi salah satu andalan untuk memuluskan tipu muslihat tersebut.

Disadari atau tidak, menebar fitnah hanya akan mengundang malapetaka dan penderitaan yang sangat melelahkan. Entah bagi diri si penebar sendiri, lingkungan keluarganya, ataupun masyarakat yang lebih luas.

Penting untuk diketahui bahwa penderitaan akibat fitnah tidak hanya dirasakan oleh orang yang dituduh. Aktor utama yang menebar fitnah pun akan merasakan dampak yang lebih besar, lebih-lebih bila ia tidak segera meminta maaf dan bertobat.

Sebab, orang yang suka memfitnah orang lain sebenarnya sedang menata penderitaan hidupnya sendiri, cepat ataupun lambat. Seolah-olah, dirinya tidak pernah memikirkan perbuatannya itu sebagai dosa yang mengantarkannya ke dalam jurang kehinaan di dunia, lebih-lebih di akhirat.

Ada satu kisah menarik yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim tentang konflik antara Sa'id bin Zaid dan Arwa binti 'Aus. Pada masa pemerintahan khalifah Marwan bin Hakam, Sa'id dilaporkan oleh Arwa.

Wanita itu menuduhnya telah mengambil sebagian dari tanahnya. Sa'id pun berkata, "Apakah aku mengambil sebagian dari tanah miliknya, padahal aku pernah mendengar sabda Rasulullah SAW?"

Marwan bertanya, "Apa yang Anda dengar dari Rasulullah SAW?"

Ia menjawab, "Aku mendengar bahwa Rasulullah SAW bersabda, 'Barangsiapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengalungkan ke lehernya tujuh lapis bumi.'"

Maka, Marwan berkata, "Baik, aku percaya kepadamu."

Kemudian, Sa'id berdoa, "Ya Allah, jika perempuan ini (Arwa) berbohong, maka butakanlah matanya dan matikan dia di tanahnya."

Beberapa waktu berlalu. Akhirnya, terkuak bahwa Arwa mengalami kebutaan pada matanya. Wanita ini meninggal saat sedang berjalan di atas lahannya. Ia terperosok ke dalam lubang dan mati seketika.

Kisah di atas menunjukkan betapa buruk dan bahayanya dosa menuduh atau memfitnah. Ini juga memberi peringatan kepada kita bahwa perangai tukang fitnah termasuk kezaliman yang semestinya ditinggalkan.

Di sisi lain, kisah di atas memberi hikmah dan pesan yang sangat penting untuk kita. Tangisan dan doa orang yang dizalimi hendaklah ditakuti. Sebab, itu akan didengar dan dikabulkan Allah. Jangan main-main dengan munajat orang yang difitnah.

sumber : Hikmah Republika
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement