REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Khutbah merupakan bagian tak terpisahkan dalam Sholat Jumat. Para ulama bahkan sepakat jika khutbah termasuk dalam syarat wajib dalam rangkaian ibadah Sholat Jumat.
Dalam praktiknya, ada masjid di Tanah Air yang khatibnya menyampaikan khutbah dengan bahasa Arab meski berdampak pada ketidakpahaman jamaah dalam menangkap pesan khutbah. Meski demikian, kebanyakan khatib di Indonesia menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa lokal setempat. Sebenarnya, bagaimana hukum menyampaikan khutbah Jumat di luar bahasa Arab, seperti bahasa Indonesia? Apakah khutbah harus disampaikan dalam bahasa Arab?
Ustaz Ahmad Sarwat dalam bukunya Hukum-Hukum Terkait Ibadah Shalat Jumat menjelaskan, jumhur ulama dari Mazhab Al-Malikiyah, Asy-syafi'iyah dan Al-Hanablah umumnya sepakat mensyaratkan khutbah disampaikan dalam bahasa Arab, setidaknya dalam rukun-rukunnya. Meski demikian, selain ritual yang termasuk rukun dibolehkan untuk disampaikan dalam bahasa selain Arab, demi untuk bisa dipahami oleh para pendengarnya.
Mazhab Al-Malikiyah sampai mengatakan bila di suatu tempat tidak ada satu pun orang yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, walaupun dengan membaca rukun-rukunnya saja, maka gugurlah kewajiban khutbah dan sholat Jumat.
Disyaratkan pula khatib memahami apa yang dibacanya dalam bahasa Arab itu, bukan sekadar bisa membunyikan saja. Mazhab Asy-Syafi'iyah juga senada dengan mazhab Al-Malikiyah dalam hal keharusan khutbah Jumat disampaikan dalam bahasa Arab.
Fatwa dalam mazhab ini menyebutkan apabila tidak ada khatib yang mampu menyampaikan khutbah dalam bahasa Arab, meski hanya rukun-rukunnya saja, maka wajiblah hukumnya bagi khatib tersebut untuk belajar bahasa Arab. Karena itu, belajar bahasa Arab itu dalam mazhab ini hukumnya menjadi fardhu kifayah. Apabila tidak seorang pun yang melakukan belajar bahasa Arab, maka semua jamaah ikut berdosa. Untuk itu gugurlah kewajiban shalat Jumat dan semua melakukan shalat Dzhuhur saja.
Dasar kewajiban khutbah berbahasa Arab dari jumhur ulama...