Ahad 23 Jun 2024 08:52 WIB

Integritas dan Kecerdasan Rasulullah Sebagai Pedagang

Rasulullah SAW saat berdagang menerapkan prinsip kejujuran dan jeli baca pasar.

ILUSTRASI Rasulullah SAW.
Foto: dok publicdomainpictures
ILUSTRASI Rasulullah SAW.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sejarah mencatat, Nabi Muhammad SAW sebelum diangkat menjadi utusan Allah adalah seorang pedagang yang sukses. Kemasyhurannya tidak hanya didukung kepiawaiannya berbisnis, tetapi juga keluhuran akhlak beliau. Perpaduan antara keahlian dan integritas, itulah yang menjadikan bisnisnya penuh keberkahan, bukan hanya keuntungan.

Secara materiel, kekayaan Rasulullah SAW sebagai pedagang tidak mungkin dipandang sebelah mata. Saat masih menjalani masa lajang, beliau sudah menjadi orang dengan penghasilan yang besar. Saat menikah dengan Khadijah binti Khuwailid, misalnya, mahar yang diberikan oleh beliau adalah 20 ekor unta muda betina (bakrah).

Baca Juga

Anggaplah harga seekor unta sedikit di atas harga sapi, misalnya Rp 30 juta per ekor. Maka, setidaknya nilai mahar Muhammad SAW itu secara akumulatif berkisar Rp 600 juta.

Tak hanya memberikan unta. Beliau juga memberikan mahar emas. Menurut sebuah riwayat, mahar Muhammad SAW saat menikah dengan Khadijah antara lain adalah emas seberat 12,5 uqiyah. Adapun 1 uqiyah setara 28 gram.

Memang, perkenalan dua insan ini terjadi di dunia perdagangan. Tepatnya, kala itu Muhammad muda sering diminta membawa dagangan milik Khadijah, sosok perempuan yang juga konglomerat terkaya di Hijaz pada masa itu.

Publik mengenal sosok Muhammad muda sebagai orang yang jujur dalam segala hal. Bahkan, beliau digelari sebagai al-Amin, orang yang paling dapat dipercaya. Kejujuran pun beliau terapkan dalam berbisnis.

Sifat mulia itu justru menjadi sasaran kedengkian beberapa saudagar Quraisy di Makkah. Mereka merasa kalah saing dan kesal kepada Muhammad SAW.

Bagi mereka, dagang ya dagang. Jujur? Itu lain soal. Yang penting bagi mereka adalah mendulang untung sebanyak-banyaknya sembari menyingkirkan para pesaing di pasar.

Pada suatu hari, orang-orang yang dengki ini membuat rencana untuk membangkrutkan Muhammad SAW. Ketika rombongan pedagang Makkah itu membawa barang dagangan ke Syam (Suriah), mereka sengaja menjatuhkan harga.

Dalam benak mereka, penduduk Makkah tentu lebih berburu barang yang harganya murah. Karena itu, dagangan mereka mesti lebih laris.

Mengetahui ada yang sengaja menjatuhkan harga barang, Muhammad SAW tidak ikut melakukannya. Sebab, beliau menyadari betul, barang-barang yang dibawanya adalah dagangan milik Khadijah. Bukan miliknya sendiri.

Bagaimanapun, kejelian beliau kembali terbukti di sini. Muhammad SAW pintar membaca pasar. Al-Amin meyakini, jumlah permintaan akan jauh lebih tinggi daripada penawaran barang itu. Jadi, walaupun dagangan para saudagar Quraisy yang murah-meriah itu habis, konsumen pasti akan tetap mencari-cari barang tersebut di pasar.

Benar saja, ketika dagangan yang harganya dibanting itu habis, masyarakat tetap saja menyambangi pasar. Mereka mencari-cari barang yang sama. Akhirnya, tak sedikit orang membeli barang-barang kepada Muhammad dengan harga yang normal.

Ketika rombongan pedagang yang dengki itu pulang, Makkah heboh. Semua pedagang itu rugi. Sementara, Muhammad SAW mendulang untung besar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement