Oleh: Karta Raharja Ucu, Jurnalis Republika di Madinah
Yawmul-itsnaini, hari Senin pada 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriyah, atau bertepatan dengan 8 Juni 632 Masehi silam. Langit Kota Madinah seolah-olah runtuh saat Baginda Nabi Muhammad Rasulullah shalallahu 'alahi wassalam meninggal dunia di pangkuan 'Aisyah radhiallahu 'anha.
Penduduk Kota Madinah masih tak percaya Rasulullah yang mereka cintai meninggal dunia. Bahkan, sahabat mulia Umar bin Khattab radhiallahu 'anhu yang sangat mencintai Rasulullah berteriak kepada penduduk Madinah bahwa dia akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik yang menganggap Rasulullah telah wafat.
"Ada orang-orang munafik yang menganggap Rasulullah sudah wafat. Sebenarnya Rasulullah tidak wafat! Beliau hanya pergi menemui Tuhannya seperti kepergian Musa bin Imran. Musa meninggalkan kaumnya selama 40 malam lalu kembali kepada mereka setelah dikatakan bahwa ia wafat. Demi Allah, Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga! Lalu aku akan memotong tangan dan kaki orang-orang munafik yang menganggap beliau sudah wafat!"
Umar masih membantah bahwa kematian juga menghampiri Rasulullah. Namun, semua penduduk Madinah saat itu akhirnya disadarkan oleh ucapan sahabat mulia Abu Bakar ash-Shiddiq radhiallahu 'anhu.
"Tenanglah Umar, diamlah!" kata Abu Bakar, "saudara-saudara, siapa yang menyembah Muhammad, sesungguhnya Muhammad telah wafat. Siapa yang menyembah Allah, sesungguhnya Allah Maha Hidup, tak pernah mati."
Seketika, Umar dan penduduk Madinah sadar jika junjungan mulianya sudah tidak lagi menemani mereka di dunia. Hari itu menjadi hari paling pilu di Kota Madinah, ketika Rasulullah SAW wafat dalam usia 63 tahun.
Seribu empat ratus tahun kemudian, rasa cinta para sahabat masih terjaga dalam hati umat sang nabi di akhir zaman. Jasad mulia Rasulullah SAW yang bersanding dengan dua sahabat tercinta, Abu Bakar dan Umar, di Masjid Nabawi, Madinah, hingga hari ini tidak pernah sepi diziarahi.
Bakda Shalat Subuh, Senin (3/6/2024), langit Madinah mulai berwarna ungu. Langit mulai merekah. Mentari mulai menetas di seberang Pemakaman Baqi saat jalur masuk ke makam Nabi SAW dipadati ratusan jamaah laki-laki. Usai Shalat Subuh, jamaah dari berbagai negara mulai berebut memasuki jalur yang disiapkan pengelola Masjid Nabawi untuk menyampaikan salam kepada Rasulullah SAW.
"Heekkkk....heekkk...heekkk ...." Suara tangisan dari ratusan Muslimin di bawah kubah hijau Masjid Nabawi, Kota Madinah, terdengar saling bersautan. Hitam, cokelat, kuning, putih, semua warna kulit jamaah dari berbagai negara berbaur dan berkumpul untuk berziarah ke makam Nabi SAW, guna mengantarkan kerinduan yang tak tertahankan.
Jamaah Indonesia bisa dikenali dari pakaiannya: bersarung, berpeci, atau memakai baju batik. Adapun jamaah dari Afrika biasanya memakai pakaian serba cerah warna warni. Jamaah dari India, Bangladesh, Pakistan memakai pakaian kurta. Semua punya misi yang sama, mengejar syafaat Rasulullah SAW.
Untuk melintasi makam Nabi Muhammad SAW, akses masuk hanya bisa melewati Pintu I atau Bab al-Salam. Setelah itu, jamaah akan melintasi mimbar dan mihrab Nabi yang berada di dalam Raudhah. Pada akhirnya, mereka bisa sampai di depan kamar Rasulullah SAW yang kini menjadi makam beliau.
Tangisan jamaah meledak di depan makam Rasulullah...