REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ijtima Ulama Komisi Fatwa VIII Tahun 2024 memutuskan youtuber dan influencer wajib membayar zakat. Ada sejumlah alasan penetapan zakat tersebut.
Anggota Ijtima Ulama Komisi Fatwa VIII Tahun 2024 asal Kalimantan Utara, Ahmad Imanuddin mengatakan, konten kreator dari platform media sosial menjadi salah satu pembahasan yang memungkinkan untuk ditarik zakat sebesar 2,5 persen dari penghasilan.
"Pendapatan seorang konten kreator dengan jumlah penonton 'viewer' dan penghasilan yang banyak, menjadi pembahasan dalam rapat Ijtima Ulama VIII," kata dia yang masuk dalam Komisi B Ijtima Ulama bidang perkembangan fiqih-fiqih moderen di Sungailiat, Babel akhir pekan lalu.
Di era digitalisasi moderen yang terus berkembang di tanah air, kata dia, konten kreator tumbuh dan berkembang sangat besar.
"Hanya saja yang dalam pembahasan zakat digital itu masih perlu kajian apakah konten kreator masuk dalam profesi atau tidak," katanya.
Menurutnya, dengan kreativitas konten kreator dan besarnya pendapatan yang dihasilkan, tentu memberikan dampak besar terhadap kesejahteraan umat jika dapat dipungut zakat 2,5 persen.
Seperti diketahui, Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII telah menetapkan bahwa pegiat Youtube (Youtuber) dan pemengaruh internet atau yang biasa dikenal sebagai selebgram hukumnya wajib untuk berzakat.
"Forum ijtima menetapkan bahwa Youtuber, selebgram dan pelaku ekonomi kreatif digital lainnya wajib mengeluarkan zakat," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Prof Asrorun Niam Sholeh dalam keterangan yang diterima di Jakarta.
Niam mengatakan forum Ijtima Ulama menilai bahwa teknologi digital mempunyai potensi untuk terus dikembangkan dalam memberi manfaat sosial dan ekonomi bagi masyarakat.
Ia menyebut keputusan tersebut merupakan respons para ulama dalam melihat perkembangan digital di tengah masyarakat, termasuk aktivitas digital yang dapat menghasilkan keuntungan.
Niam menjelaskan wajib zakat bagi Youtuber dan selebgram ditetapkan dalam berbagai ketentuan, di antaranya adalah objek usaha atau jenis kontennya tidak bertentangan dengan ketentuan syariah.
"Telah mencapai nisab, yaitu senilai 85 gram emas dan mencapai hawalan al haul (satu tahun) kepemilikan," sambungnya.
Jika belum mencapai nisab, kata Niam, maka penghasilan dikumpulkan selama satu tahun, lalu dikeluarkan setelah penghasilannya sudah mencapai nishab dengan kadar zakat sebesar 2,5 persen jika menggunakan periode tahun kamariah atau hijriah.
Jika terdapat kesulitan dalam menggunakan tahun hijriah, seperti dalam hal pembukuan bisnis, sambungnya, maka menggunakan kadar zakat sebesar 2,57 persen.
"Akan tetapi, kewajiban zakat tersebut khusus bagi aktivitas digital yang tidak bertentangan dengan syariat. Kalau kontennya berisi gibah, namimah (adu domba), pencabulan, perjudian, dan hal terlarang lainnya, maka itu diharamkan," kata Niam menekankan.
Niam juga menegaskan bahwa penghasilan dari Youtuber, selebgram, dan pelaku ekonomi kreatif digital lainnya yang kontennya bertentangan dengan ketentuan syariat adalah haram.