REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Karta Raharja Ucu dari Madinah, Arab Saudi
Tak ada keresahan yang terpancar dari wajah Sajeriah (65 tahun), ketika jamaah haji asal Pare-Pare, Sulawesi Selatan itu tahun sudah sampai di Kota Suci Madinah Al Munawwarah. Setelah menanti selama 14 tahun, Sajeriah akhirnya mendapatkan panggilan ke Tanah Suci dari Allah untuk menyempurnakan rukun Islam. Namun yang mengangumkan adalah, Nenek Sajeriah adalah penyandang Tunanetra sejak masih usia tujuh tahun.
Nenek Sajeriah berangkat ke Tanah Suci dalam kelompok terbang (kloter) 3 UPG. Dia bersama rombongan tiba di Madinah, Selasa (15/5/2024). Walaupun memiliki keterbatasan dalam melihat, Nenek Sajeriah tidak membuat semangatnya menunaikan rukun haji memudar.
Bahkan siapa sangka semua perlengkapan haji Nenek Sajeriah siapkan sendiri. Dia mencuci, melipat, dan menyusun semua keperluan ke dalam koper sendirian.
Dia berkata, jika dalam menjalankan ibadah haji Allah takdirkan meninggal dunia, Nenek Sajeriah ikhlas. “Saya tidak takut, kalaupun saya meninggal tidak apa-apa,” ujarnya saat ditemui di hotel tempatnya menginap, Rabu (15/5/2024).
Sajeriah lahir dalam keadaan normal, tetapi ketika kecil dia mengaku pernah sakit deman tinggi dan tidak mendapatkan perawatan yang baik. Akibatnya pada usia 7 tahun dia mengalami kebutaan permanen yang membuatnya sama sekali tidak bersekolah.
Sampai ke Tanah Suci, Sajeriah mengaku dibiayi oleh adiknya. Ini bukan pertama kali Sajeriah ke Tanah Suci, sebab tujuh tahun lalu dia sudah menunaikan ibadah umroh.
Awalnya dia khawatir akan merepotkan banyak orang karena kondisinya. Tetapi semua itu akhirnya hilang karena Sajeriah hanya menggantungkan hidupny pada Allah. “Ada Allah SWT yang membantu. Apalagi mereka yang bisa melihat. Ayo naik haji,” ucapnya.
Nenek Sajeriah datang ke Arab Saudi tidak seorang diri. Dia ditemani sang keponakan, Hasmia (53 tahun). Hasmia ketika diajak berbincang tak mampu lagi menahan air matanya. Alasannya, sejak kecil Hasmia sangat dekat dengan bibinya tersebut.
Dari cerita Hasmia, Nenek Sajeriah tidak merepotkan orang lain meski memiliki keterbatasan dalam melihat. Bahkan, Sajeriah bisa mengurus keponakan-keponakannya, seperti mencuci, memasak nasi, hingga mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga. Terampilnya Sajeriah mengerjakan pekerjaan rumah tangga, membuat Hasmia merasa bibinya tidak memiliki keterbatasan.
“Dia bisa masak, mencuci, dan segalanya dia lakukan sendiri karena sudah hafal letak di dalam rumah,” ucap Hasmia.
Keyakinan Nenek Sajeriah untuk berangkat ke Tanah Suci bahkan sudah ditunjukkannya saat diperiksa tim perawat sejak dari Pare-Pare. Hafidah Jufri, perawat yang bergabung dalam tim kesehatan kloter dan mendampingi jamaah menjelaskan, kondisi kesehatan Nenek Sajeriah sangat baik. Satu-satunya kekurangan yang dimiliki Sajeriah adalah mengalami kebutaan.
Dari hasil tes kesehatan sejak di Indonesia hingga ke Arab Saudi, seperti baik darah, urine, dan lain-lain, sangat baik. “Semangatnya luar biasa, saya salut,” ujar perempuan berkacamata tersebut.
Kekaguman tidak hanya datang dari Hafidah, Ketua Kloter 3 UPG, M Hasyim Usman juga mengagumi semangat Sajeriah untuk naik haji. Dia bercerita, awalnya pendamping atau keponakan Sajeriah tidak bisa berangkat. “Awalnya pendampingan dia tidak masuk. Awalnya yang diusulkan untuk mendampingi adalah keponakannya yang serumah tetapi tidak bisa,” kata Hasyim.
Ketika Sajeriah dinyatakan berangkat, Hasyim menyemangati Sajeriah. Dia lalu membagi anggota rombongan dengan komposisi beragam, mulai dari tua muda, dan lansia. Juga dibagi ada anggota yang sehat dan yang memiliki masalah kesehatan.
"Walaupun ada yang tidak setuju diberikan pemahaman, kita berangkat ini sama, satu saudara masa kami tidak mampu,” kata dia.
Kekaguman Hasyim bukan tanpa alasan. Meskipun tunanetra, Sajeriah berulang kali datang ke Kementerian Agama untuk mengurus berbagai persyaratan administrasi. Padahal penggurusan itu bisa diwakilkan.