Selasa 13 Feb 2024 11:40 WIB

Mesir Berkomitmen Tegakkan Perjanjian dengan Israel

Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan Israel pada 1979.

Pengungsi Anak-anak Palestina bermain di dekat perbatasan Palestina-Mesir di kamp Rafah, Jalur Gaza selatan, (29/1/2024).
Foto: EPA
Pengungsi Anak-anak Palestina bermain di dekat perbatasan Palestina-Mesir di kamp Rafah, Jalur Gaza selatan, (29/1/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, KAIRO -- Menteri Luar Negeri Mesir Sameh Shoukry, Senin (12/2/2024), mengatakan, negaranya berkomitmen untuk menegakkan perjanjian perdamaian dengan Israel. "Ada perjanjian perdamaian antara Mesir dan Israel, yang telah berlaku selama 40 tahun terakhir, dan kami melakukan kesepakatan dengan percaya diri dan efektif dan akan terus melakukannya pada tahap ini," kata Shoukry.

Shoukry menyampaikan pernyataan itu dalam konferensi pers bersama Menteri Luar Negeri Slovenia Tanja Fajon di ibu kota Slovenia, Ljubljana. Pernyataan ini muncul setelah laporan sebelumnya di media AS yang mengeklaim bahwa Pemerintah Mesir mengancam akan menangguhkan perjanjian perdamaian dengan Israel atas rencana serangan darat Israel di Rafah, kota di Palestina dekat perbatasan dengan Mesir.

Baca Juga

Mesir menandatangani Perjanjian Camp David dengan Israel pada 1979 yang menyatakan Tel Aviv menarik diri dari Semenanjung Sinai. Shoukry mengatakan pemerintah negaranya berusaha menjadi perantara kesepakatan antara Hamas dan Israel untuk pembebasan sandera dan mengizinkan bantuan kemanusiaan masuk ke Gaza.

Tentara Israel berencana melancarkan serangan darat di Rafah, wilayah yang ditinggali lebih dari 1,4 juta warga yang mengungsi dari perang, untuk mengalahkan kelompok yang disebut Tel Aviv sebagai "batalion Hamas" yang tersisa. Warga Palestina mencari perlindungan di Rafah seiring dengan gempuran yang dilancarkan Israel di seluruh wilayah tersebut sejak 7 Oktober tahun lalu. 

Bombardemen Israel telah menewaskan lebih dari 28.340 orang serta menyebabkan kehancuran massal dan kekurangan bahan-bahan kebutuhan pokok. Perang Israel di Gaza menyebabkan 85 persen penduduk di wilayah tersebut mengungsi di tengah kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan, sementara 60 persen infrastruktur di wilayah tersebut rusak atau hancur, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Pada akhir 2023, Afrika Selatan mengajukan kasus ke Mahkamah Internasional (ICJ), dengan menuduh Israel tidak menjunjung komitmennya berdasarkan Konvensi Genosida 1948. Dalam keputusan sementara Mahkamah Internasional pada Januari, pengadilan PBB tersebut memutuskan bahwa klaim Afrika Selatan masuk akal.

ICJ kemudian memerintahkan tindakan sementara bagi pemerintah Israel untuk menghentikan tindakan genosida, dan untuk mengambil tindakan yang menjamin bantuan kemanusiaan bisa sampai kepada warga sipil di Gaza.

sumber : antara, anadolu
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement