REPUBLIKA.CO.ID, RIYADH –- Arab Saudi kembali menegaskan posisinya kepada Amerika Serikat (AS) bahwa mereka tidak akan membuka hubungan diplomatik dengan Israel sebelum Palestina merdeka. Hal itu merespons pernyataan Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby yang mengklaim bahwa Riyadh masih terlibat dalam pembicaraan tentang normalisasi diplomatik dengan Tel Aviv.
“Kerajaan (Saudi-red) telah menyampaikan posisi tegasnya pada pemerintah AS bahwa tidak akan ada normalisasi diplomatik dengan Israel kecuali negara merdeka Palestina diakui dalam garis perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya,” kata Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Arab Saudi dalam sebuah pernyataan yang dirilis di akun X resminya, Selasa (6/2/2024).
Saudi pun menuntut agar Israel segera menghentikan agresinya ke Jalur Gaza dan menarik pasukannya dari wilayah tersebut. Riyadh menyerukan kepada anggota permanen Dewan Keamanan PBB yang belum mengakui negara Palestina untuk segera memberi pengakuan. “Dengan begitu rakyat Palestina bisa memperoleh hak-hak sah mereka dan perdamaian yang adil serta komprehensif dapat dicapai untuk semua,” kata Kemenlu Saudi.
Pada Selasa lalu, Juru Bicara Dewan Keamanan Nasional AS John Kirby mengungkapkan, pemerintahan Presiden Joe Biden masih berusaha mewujudkan normalisasi diplomatik antara Saudi dan Israel. “Kami tentu mendapat tanggapan positif dari kedua belah pihak, sehingga mereka bersedia melanjutkan diskusi tersebut,” ujarnya.
Dalam sebuah wawancara dengan CNN pada 21 Januari 2024 lalu, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan sempat ditanya apakah tidak akan ada normalisasi dengan Israel tanpa kemerdekaan Palestina. “Itulah satu-satunya cara kita memperoleh keuntungan. Jadi, iya,” jawab Pangeran Faisal.
Saat menghadiri Forum Ekonomi Dunia bulan lalu, Pangeran Faisal sudah menyampaikan hal serupa. Dia mengatakan, negaranya siap mengakui eksistensi Israel jika Palestina menjadi negara merdeka.
Menurutnya, kemerdekaan Palestina akan membuka jalan bagi terciptanya perdamaian di kawasan. “Kami sepakat bahwa perdamaian regional mencakup perdamaian bagi Israel. Namun hal itu hanya dapat terjadi melalui perdamaian bagi Palestina melalui negara Palestina,” kata Pangeran Faisal saat berpartisipasi dalam pertemuan Forum Ekonomi Dunia, 16 Januari 2024.
Ketika ditanya apakah Arab Saudi akan mengakui Israel sebagai bagian dari perjanjian politik yang lebih luas, Pangeran Faisal menjawab, “Tentu saja.” Dia menambahkan, menjaga perdamaian regional melalui pembentukan negara Palestina adalah sesuatu yang sudah Saudi kerjakan bersama pemerintah AS. “Dan ini lebih relevan dalam konteks Gaza,” ujarnya.
Pangeran Faisal mengatakan, ada jalan menuju masa depan yang lebih baik bagi kawasan, bagi Palestina, dan bagi Israel, yaitu perdamaian. Dia menegaskan, Saudi berkomitmen penuh untuk mewujudkan hal tersebut. “Gencatan senjata di semua pihak harus menjadi titik awal bagi perdamaian permanen dan berkelanjutan, yang hanya dapat terjadi melalui keadilan bagi rakyat Palestina,” ucap Pangeran Faisal.
Sementara itu dalam konferensi pers yang disiarkan secara nasional pada 18 Januari 2024 lalu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu secara terbuka menolak solusi dua negara. “Dalam pengaturan apa pun di masa depan, Israel memerlukan kontrol keamanan atas seluruh wilayah, di sebelah barat Sungai Yordan. Ini bertentangan dengan gagasan kedaulatan (untuk Palestina). Apa yang bisa Anda lakukan?” ucap Netanyahu.
“Perdana menteri harus mampu untuk mengatakan tidak kepada teman-teman kita,” kata Netanyahu seraya menambahkan bahwa dia sudah menyampaikan penolakannya terkait solusi dua negara kepada para pejabat AS.
Pada 2020, AS, di bawah pemerintahan Donald Trump, diketahui berhasil memediasi kesepakatan normalisasi diplomatik Israel dengan empat negara Muslim, yakni Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, dan Maroko. Kesepakatan tersebut dikenal dengan nama Abraham Accords. Sejak saat itu, Israel berusaha memperluas normalisasi dengan negara-negara di kawasan