REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Gedung Putih, melalui juru bicaranya mengatakan pada Senin (22/1/2024) bahwa Arab Saudi "positif" mengenai normalisasi hubungan dengan Israel. Pernyataan itu muncul beberapa jam setelah Menteri Luar Negeri Arab Saudi tampak mengecilkan kemungkinan tersebut.
Juru bicara Dewan Keamanan Nasional, John Kirby, menggambarkan inisiatif, yang sulit dipahami untuk membangun hubungan antara Riyadh dan Tel Aviv, itu sebagai potensi "tonggak penting" untuk mencapai solusi dua negara dalam mengakhiri konflik Palestina-Israel. Dia menegaskan, normalisasi antara negara-negara bertetangga itu masih mungkin dilakukan kendati prospeknya semakin suram di tengah perang Israel yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
"Sebelum 7 Oktober 2023, kami saat itu sedang mengerjakannya dengan sangat keras. Kami masih terus bekerja keras. Dan kami mendapat tanggapan positif dari mitra-mitra kawasan itu, termasuk Arab Saudi," ujarnya kepada wartawan di Gedung Putih. "Hal ini dapat membuka peluang tambahan untuk mencoba mencapai konstruksi dua negara yang masuk akal," katanya, menambahkan.
Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan mengatakan pada CNN, Ahad (21/1/2024), bahwa Arab Saudi tidak akan mengakui Israel, atau membantu rekonstruksi Gaza, tanpa jalur yang memungkinkan untuk mendirikan negara Palestina. Tidak jelas bagaimana pendirian negara Palestina itu dapat dicapai.
Perdana menteri Israel Benjamin Netanyahu belakangan ini secara tegas menentang pembentukan negara Palestina. Dia berseberangan dengan Presiden AS Joe Biden serta para pejabat seniornya di tengah perpecahan yang semakin mendalam di antara kedua sekutu tersebut.
Pada Sabtu (20/1/2024), Netanyahu dan kantornya menyatakan bahwa Israel harus mempertahankan kendali keamanan atas Tepi Barat dan Jalur Gaza yang diduduki. Artinya, dia menolak kemungkinan warga Palestina menerapkan kedaulatan di wilayah tersebut.