REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- PBB pada Jumat, (19/1/2024) mengatakan lebih dari 350 ribu orang di Republik Kong membutuhkan bantuan kemanusiaan segera karena curah hujan ekstrem dalam beberapa pekan terakhir. Juru bicara kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA) Jens Laerke dalam pengarahan di Jenewa menyebutkan bahwa bencana banjir di negara itu "dalam skala yang belum pernah terjadi sebelumnya selama enam dekade."
Dia juga mengatakan, sembilan dari 12 daerah di negara itu masih terendam banjir sekitar tiga pekan setelah keadaan darurat diumumkan pada 29 Desember, dengan total 1,8 juta orang terkena dampaknya. "Lebih dari 350 ribu orang sangat membutuhkan bantuan kemanusiaan, tetapi aksesnya cukup sulit karena banjir, sementara banyak desa hanya dapat dicapai dengan perahu atau kano," kata Laerke.
Dia menekankan, banjir menyebabkan masyarakat setempat tidak memiliki tempat berlindung atau akses terhadap layanan kesehatan dasar, seraya menambahkan bahwa akses terhadap air minum yang bersih atau sanitasi cukup "terbatas atau tidak ada sama sekali" di daerah yang terkena dampak paling parah. Sementara itu, sekitar 27 ribu anak-anak tidak bisa bersekolah, kata Laerke sambil memperingatkan bahwa banjir bisa juga menimbulkan dampak jangka panjang.
Dia juga mengatakan, penilaian awal PBB memperkirakan 2.300 hektare lahan pertanian telah terendam banjir. Sehingga menimbulkan kekhawatiran bahwa sarana untuk menghasilkan makanan, misalnya pohon buah-buahan dan alat penangkap ikan, telah hancur, sementara banyak ternak mati.
Laerke lebih lanjut mengatakan, untuk respons cepat, badan PBB dan Pemerintah Republik Kongo telah mengumpulkan anggaran sebesar 26 juta dolar AS (sekitar Rp 406,2 miliar), yang memprioritaskan tempat tinggal, ketahanan pangan, nutrisi, kesehatan dan air, sanitasi dan kebersihan. "Untuk mendukung respons awal, alokasi sebesar 3,6 juta dolar AS (sekitar Rp 56,2 miliar) dari Dana Tanggap Darurat Pusat telah diberikan untuk memenuhi kebutuhan paling mendesak bagi 270 ribu orang," kata Laerke.
"Namun, untuk melaksanakan aksi tanggap ini, kita membutuhkan lebih banyak dana internasional," ia menambahkan.