Senin 11 Dec 2023 18:53 WIB

MUI Jelaskan Hukum Penggunaan Zakat untuk Program Penanganan Iklim

Para ulama memperbolehkan harta zakat didistribusikan untuk kemaslahatan.

Rep: Andrian Saputra/ Red: Muhammad Hafil
 MUI Jelaskan Hukum Penggunaan Zakat untuk Program Penanganan Iklim. Foto: Zakat / fidyah ( ilustrasi)
Foto: Dok Republika
MUI Jelaskan Hukum Penggunaan Zakat untuk Program Penanganan Iklim. Foto: Zakat / fidyah ( ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA ---Dunia internasional tengah berupaya keras menyelesaikan permasalah perubahan iklim. Indonesia pun diharapkan menjadi yang terdepan dalam program-program penyelesaian masalah iklim. 

Tetapi sebagai negara berkembang, Indonesia masih sulit memperoleh pembiayaan untuk menjalankan program-program strategis untuk penanganan masalah iklim. Dalam kondisi tersebut, pemerintah tengah berupaya mobilisasi pendanaan dengan melibatkan sektor publik dan swasta untuk pembiayaan iklim. 

Baca Juga

Wacana pembiayaan iklim dengan menggunakan pembiayaan syariah berbasis masyarakat seperti dengan menggunakan dana Zakat, Infak, Sedekah, dan Wakaf (Ziswaf) mengemuka sebagai salah satu model alternatif untuk mendukung pembiayaan program penanganan iklim. Lalu bagaimana fiqih Islam memandang penggunaan dana zakat untuk pendanaan iklim? Apakah boleh menggunakan zakat untuk pembiayaan program penanganan iklim seperti pengadaan panel surya, reboisasi, energi terbarukan dan lain-lain? Apa boleh dengan alasan bahwa  perubahan iklim akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang kemudian akan berdampak pada bertambahnya kemiskinan, maka dapat menggunakan pendanaan zakat untuk pendanaan atau pembiayaan iklim?

Wakil Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Abdul Muiz Ali, mengatakan bahwa pada prinsipnya segala bentuk bahaya atau sesuatu yang akan menimbulkan bahaya harus dihilangkan. Oleh karena itu perubahan iklim yang ekstrim harus dicegah dan sebisa mungkin harus dihilangkan. Ini sebagaimana disebutkan dalam kaidah fikih disebutkan: (اَلضَّرَرُ يُزَالُ) addororu yuzalu yang artinya bahaya itu harus dihilangkan. Sebab itu menurutnya pemerintah dan masyarakat harus terlibat aktif untuk mewujudkan iklim yang baik. 

Memang menurut kiai Muiz pada dasarnya harta zakat harus didistribusikan kepada delapan golongan sebagaimana dijelaskan dalam Alquran surat At Taubah ayat 60:

إِنَّمَا الصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَاءِ وَالْمَسَاكِينِ وَالْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِي الرِّقَابِ وَالْغَارِمِينَ وَفِي سَبِيلِ اللَّهِ وَابْنِ السَّبِيلِ ۖ فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ

Artinya: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Alquran surat At Taubah ayat 60).

Meski begitu kiai Ali mengatakan para ulama memperbolehkan harta zakat didistribusikan untuk kemaslahatan dan kesehatan yang mengancam masyarakat seperti untuk program penanganan perubahan iklim yang dampaknya dapat membahayakan masyarakat bila tidak segera diatasi. 

“Sebagian ulama memperbolehkan mendistribusikan harta zakat untuk kemaslahatan yang kembali pada masyarakat. Termasuk kemaslahatan dimaksud adalah untuk kepentingan keselamatan dan kesehatan yang mengancam masyarakat. Bolehnya mentasarufkan harta zakat untuk kemaslahatan umat merujuk pada cakupan makna Sabilillah dalam Alquran surat At Taubah ayat 60,” kata kiai Muiz kepada Republika.co.id beberapa hari lalu. 

Menurut kiai Muiz memang mayoritas Sabillah pada ayat 60 surat At Taubah tersebut memiliki arti sukarelawan perang. Namun sebagian ulama yang lain berpendapat bahwa kata sabilillah pada makna ayat tersebut dapat diartikan jami'u wujuhil khoir (setiap kebaikan) yang kembali untuk kemaslahatan umat atau masyarakat. Hal tersebut sebagaimana dikutip oleh Imam Abu Bakar Muhammad bin Ali Al-Qaffal Al-Kabir As-Syasyi (291-365 H/904-976 M) mengatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial.

Pendapat yang menyatakan sabilillah mencakup seluruh sektor sosial juga diakomodir dalam Keputusan Munas Alim Ulama NU di Yogyakarta pada 30 Agustus 1981 untuk membolehkan pemberian zakat pada masjid, madrasah, panti-panti asuhan, yayasan sosial/keagamaan, dan semisalnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement