Jumat 10 Nov 2023 23:21 WIB

Bambu Runcing Mustahil Bisa Kalahkan Penjajah, Tapi Ini yang Dilakukan Kiai dan Santri 

Kiai dan santri berdoa agar Allah SWT tunjukkan kuasanya di bambu runcing

Rep: Muhyiddin / Red: Nashih Nashrullah
Tugu Bambu Runcing di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya, Jawa Timur. Kiai dan santri berdoa agar Allah SWT tunjukkan kuasanya di bambu runcing
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Tugu Bambu Runcing di Jalan Panglima Sudirman, Surabaya, Jawa Timur. Kiai dan santri berdoa agar Allah SWT tunjukkan kuasanya di bambu runcing

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Bambu runcing merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perang kemerdekaan. Senjata yang digunakan santri dan pejuang Indonesia ini terbuat dari sebilah bambu yang ujungnya diruncingkan dan senjata ini dipakai pada saat melawan panjajahan kolonialis Belanda.

Di tengah serangan-serangan penjajah yang menggunakan senjata modern, senjata yang terbuat dari bambu ini menjadi salah satu senjata yang realistis yang bisa diharapkan saat itu. Selain mudah dibuat, bambu runcing juga mudah digunakan.

Baca Juga

Seorang musuh yang terkena tusukan bambu runcing tersebut tidak akan mati saat itu juga, tapi matinya bisa berhari-hari kemudian, bahkan berbulan-bulan. Karena itu, senjata tradisional ini cukup ditakuti oleh tentara Belanda karena bisa merasakan sakit yang menyiksa sebelum kematiannya.

Bambu runcing saat itu juga sangat menguntungkan untuk membunuh lawan secara senyap karena tidak menimbulkan bunyi seperti halnya senjata api. Pada saat itu, bambu runcing yang digunakan kaum santri juga ditambahkan dengan doa-doa dari Pegasuh Pondok Pesantren Parakan Kauman Temanggung, KH Subchi yang juga dikemal sebagai Kiai “Bambu Runcing”.

Kiai Subchi lah yang memberikan doa-doa khusus untuk senjata bambu runcing yang digunakan para pejuang kemerdekaan. Dengan bekal bambu runcing itu, para pemuda dan santri akhirnya lebih berani dan percaya diri untuk tampil di garda depan untuk bertarung dengan musuh.

Pemberian doa-doa Kiai Subchi untuk bambu runcing tersebut telah diceritakan sekilas dalam buku berjudul “Guruku Orang-Orang dari Pesantren” yang ditulis Menteri Agama era Soekarno, KH Saifuddin Zuhri pada 1974.

Dalam buku tersebut, dijelaskan bahwa ketika terjadi perlawanan di Surabaya pada 10 November 1945, hampir bersamaan dengan Hari Pahlawan itu rakyat Semarang juga melakukan perlawanan terhadap tentara sekutu.

Dari peperangan tersebut, lahirlah pertempuran di daerah Jatingaleh, Gombel, dan Ambarawa antara rakyat Indonesia melawan sekutu. Kabar pecahnya peperangan di sejumlah daerah tersebut juga tersiar ke daerah Parakan. Kemudian, Laskar Hizbullah dan Sabilillah Parakan yang terdiri dari kaum santri ikut bergabung bersama pasukan lainnya.

Baca juga: 10 Peluang Pintu Langit Terbuka Lebar, Doa yang Dipanjatkan Insya Allah Dikabulkan

Setelah berhasil bergabung dengan ribuan tentara lain, mereka berangkat ke lokasi pertempuran di Surabaya, Semarang, dan Ambarawa. Namun, sebelum berangkat, mereka mampir dulu ke Kawedanan Parakan untuk memperkuat diri dengan berbagai macam ilmu kekebalan dari Kiai Subchi.

Sementera, untuk senjata bambu runcing yang akan mereka gunakan, Kiai Subchi membacakan doa Bismillahi Ya hafidhu, Allahu Akbar. Doa tersebut berarti: Dengan nama Allah, Ya Tuhan Mahapelindung, Allah Mahabesar. 

Doa khusus untuk bambu runcing itu pun menambah keyakinan para pejuang untuk berani mati melawan penjajah. Hingga akhirnya, mereka bisa meraih kemerdekaan. Untuk menghormati jasa mereka, senjata bambu runcing itu pun dijadikan monumen di jantung Kota Surabaya, tepatnya di Jalan Panglima Sudirman.    

photo
Pahlawan nasional 2022 - (Republika)
photo
Pahlawan nasional 2022 - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement