REPUBLIKA.CO.ID, MANAMA -- Anggota parlemen di Bahrain sedang mencari untuk membetalkan perjanjian normalisasi Kerajaan Bahrain dengan Israel atas genosida negara pendudukan tersebut terhadap Palestina di Gaza.
Wakil ketua Majelis Nasional Bahrain Abdulnabi Salman mengatakan anggota badan legislatif menuntut diakhirinya hubungan diplomatik dengan Israel. Hubungan yang didirikan tiga tahun lalu sebagai bagian dari Perjanjian Abraham yang ditengahi AS, awalnya bersama UEA.
"Tuntutan dari anggota parlemen Bahrain adalah cerminan dari aspirasi warga Bahrain. Permintaan yang paling penting diwakili oleh pembatalan penuh normalisasi dan pemutusan semua ikatan, yang berarti pembatalan Perjanjian Abraham,” kata Salman dilansir dari Middle East Monitor, Rabu (8/11/2023).
Pada akhirnya, kata pejabat parlemen, setiap keputusan tentang hubungan Bahrain-Israel diambil oleh Raja Hamad Bin Isa Al-Khalifah dan pemerintahannya. Pekan lalu, majelis rendah parlemen Bahrain mengumumkan negara itu telah menangguhkan hubungan ekonominya dengan Israel.
Sementara, duta besar Bahrain untuk Israel juga dipanggil kembali. Penerbangan antara Manama dan Tel Aviv telah ditangguhkan.
Pada saat itu, parlemen di Manama mengonfirmasi, "Ini datang sebagai konfirmasi dari posisi bersejarah dan tegas Bahrain dalam mendukung tujuan Palestina dan hak-hak sah dari orang-orang Palestina yang bersaudara."
Namun, Israel membantah Manama menarik duta besarnya. Israel menyatakan hubungan dengan negara Teluk stabil.
The Times of Israel mengutip seorang pejabat senior yang tidak disebutkan namanya, mengatakan Duta Besar Bahrain Khaled Al-Jalahma telah kembali ke Kerajaan karena alasan pribadi.
Terlepas dari keputusan pemerintah Bahrain untuk membangun hubungan diplomatik dengan negara apartheid, orang-orang Bahrain telah vokal dalam oposisi mereka terhadap normalisasi. Warga Bahrain berpendapat normalisasi dengan Israel adalah pengkhianatan terhadap Palestina.
Protes telah terjadi terhadap serangan gencar dan invasi Gaza yang kini telah membunuh lebih dari 10 ribu warga sipil Palestina, lebih dari setengahnya anak-anak dan wanita.