Gambar dan rekaman anak-anak yang terguncang saat ditarik dari reruntuhan di Gaza atau menggeliat di brankar rumah sakit yang kotor telah menjadi hal biasa dan memicu protes di seluruh dunia. Pemandangan dari serangan udara baru-baru ini termasuk seorang penyelamat yang menggendong balita yang lemas dengan berlumuran darah, seorang ayah berkacamata yang menjerit sambil mendekap anaknya yang meninggal erat-erat di dadanya, dan seorang anak laki-laki yang kebingungan berlumuran darah dan debu yang terhuyung-huyung sendirian melewati reruntuhan.
“Menjadi orang tua di Gaza adalah sebuah kutukan,” kata Ahmed Modawikh, seorang tukang kayu berusia 40 tahun dari Kota Gaza yang hidupnya hancur oleh kematian putrinya yang berusia 8 tahun selama lima hari pertempuran di bulan Mei.
Ketika pesawat tempur Israel menggempur Gaza, anak-anak Palestina berkumpul dengan keluarga besar di apartemen atau tempat penampungan yang dikelola PBB. Meskipun Israel telah mendesak warga Palestina untuk meninggalkan Gaza utara menuju jalur selatan, tidak ada satupun wilayah di yang terbukti aman dari serangan udara Israel.
“Orang-orang lari dari kematian hanya untuk menemukan kematian,” kata Yasmine Jouda, yang kehilangan 68 anggota keluarganya dalam serangan udara 22 Oktober yang menghancurkan dua bangunan berlantai empat di Deir al-Balah, tempat mereka mencari perlindungan dari Gaza utara.
Satu-satunya orang yang selamat dari serangan tersebut adalah keponakan Jouda yang berusia satu tahun, Milissa, yang ibunya sedang melahirkan saat serangan terjadi dan ditemukan tewas di bawah reruntuhan.
“Apa yang dilakukan bayi mungil ini hingga ia layak hidup tanpa keluarga?” kata Jouda.
Israel menyalahkan Hamas...