REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Seorang gadis Muslim di Prancis menjadi salah satu orang pertama yang dipulangkan dari sekolah setelah adanya larangan mengenakan abaya. Siswi tersebut dipulangkan dari sekolahnya lantaran mengenakan kimono, pakaian tradisional Jepang.
Dilansir dari Middle East Eye, pada Rabu (6/9/2023), seorang gadis dari kota Leon di Prancis berangkat ke sekolah dengan mengenakan kimono, jubah panjang longgar dengan lengan lebar. Namun, busana itu pun dilarang oleh kepala sekolahnya yang menafsirkannya sebagai pakaian keagamaan.
Pengacara gadis tersebut mengatakan dia pergi ke sekolah dengan mengenakan jeans, kaus, dan kimono yang dibuka. Kemudian, siswi tersebut dibawa ke kepala sekolah yang kemudian menyatakan siswi itu tidak bisa tinggal di sekolah dengan mengenakan pakaian tersebut.
“Skenario ini menggambarkan tindakan berlebihan yang berbahaya yang dapat diharapkan dari instruksi baru-baru ini,” kata Nabil Boudi, seorang pengacara yang bertindak atas nama pelajar tersebut.
“Tidak ada apa pun dalam penggunaan kimono yang memungkinkan untuk mencirikan manifestasi nyata kepemilikan suatu agama,” jelas Boudi.
Boudi melanjutkan, guru itu merujuk pada agama siswa tersebut ketika memulangkannya dari sekolah, padahal kimono tidak memiliki konotasi agama. “Tindakan diskriminatif yang dilakukan oleh PNS (guru) dapat diancam dengan pidana,” kata Boudi, yang telah mengajukan tuntutan pidana ke jaksa penuntut umum Lyon.
Kritik terhadap larangan tersebut telah lama disampaikan bahwa hal itu akan menyebabkan diskriminasi terhadap anak-anak sekolah.
“Larangan menyeluruh ini tidak dapat diterapkan tanpa menggunakan profil rasial. Secara harfiah segala sesuatu bisa dianggap religius jika orang tersebut dianggap atau dipersepsikan sebagai Muslim,” kata Rim-Sarah Alouane, seorang kandidat PhD yang meneliti hukum konstitusi, diskriminasi, kebebasan beragama, dan kebebasan sipil di Prancis, Eropa, dan Amerika Utara.
Bulan lalu, pemerintah Prancis mengumumkan larangan terhadap pakaian abaya. Ini merupakan keputusan terbaru dalam serangkaian keputusan selama dua dekade terakhir yang menargetkan cara berpakaian wanita Muslim.
Di bawah interpretasi garis keras terhadap sekularisme, simbol-simbol agama di sekolah-sekolah negeri dilarang. Awalnya hal ini diterapkan pada jilbab, namun para pembuat kebijakan kemudian memutuskan untuk memasukkan item pakaian lain yang dianggap berdasarkan gagasan agama tentang kesopanan.
Menteri Pendidikan Prancis Gabriel Attal mengatakan dalam sebuah wawancara bahwa sebanyak 300 anak perempuan menentang larangan mengenakan jubah panjang yang longgar dipakai ke sekolah. Namun, sebuah stasiun TV Prancis, BFM melaporkan, meskipun beberapa siswi setuju melepas jubahnya, sebanyak 67 gadis menolak dan dipulangkan.
Attal menambahkan gadis-gadis yang dipulangkan pada Senin (4/9/2023) diberikan surat yang ditujukan kepada keluarga mereka yang menyatakan sekularisme bukanlah sebuah kendala, melainkan sebuah kebebasan.
“Jika mereka terus datang ke sekolah dengan mengenakan jubah panjang yang longgar, akan ada dialog baru,” kata Attal.
Keputusan Attal yang melarang abaya dikenakan di sekolah itu juga telah dikritisi oleh beberapa anggota partai oposisi. Politikus dari partai sayap kiri France Unbowed, Clementine Autain menuduh pemerintah Prancis menyembunyikan “penolakan obsesif” terhadap sekitar lima juta penduduk Muslim di negara itu dan mengatakan pengumuman Attal “inkonstitusional”.
Pengumuman tersebut merupakan langkah besar pertama Attal sejak dipromosikan pada musim panas untuk menangani portofolio pendidikan yang sangat kontroversial.
Aktivis dan kelompok hak asasi manusia juga telah lama menyatakan keprihatinan bahwa fokus yang intens pada jilbab adalah gejala Islamofobia yang dinormalisasi di beberapa negara Uni Eropa. Pada 2004, Prancis melarang pengenaan tanda atau pakaian yang menunjukkan afiliasi agama di sekolah. Larangan ini termasuk salib besar dan kippa Yahudi serta jilbab dalam Islam.
Pada 2010, negara ini mengeluarkan larangan penggunaan cadar di tempat umum, sebuah keputusan yang dikecam oleh Komite Hak Asasi Manusia PBB karena melanggar hak asasi manusia.