Kota-kota kerajaan pada masa Mataram Islam identik dengan benteng. Bahkan, semua ibu kota kerajaan Mataram Islam memiliki benteng atau tembok pertahanan.
Mulai dari Kota Gedhe, Plered, Kartasura, Surakarta, hingga Yogyakarta memiliki benteng yang mengelilingi Keraton. Bahkan, dalam bahasa Sansekerta, kota memiliki makna yang sama dengan benteng.
Di Kota Yogyakarta, Benteng Keraton Yogyakarta saat ini menjadi salah satu ikon budaya yang penting. Benteng Keraton Yogyakarta memiliki sejarah yang panjang, dan menjadi saksi bisu Kesultanan Yogyakarta sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono 1.
Keraton Yogyakarta memiliki dua lapis tembok, dengan lapisan dalam berupa tembok cepuri yang mengelilingi kawasan Keraton atau Kedhaton. Tembok berikutnya, jauh lebih luas dan kuat yang disebut dengan tembok Baluwarti, atau yang sering disebut hanya sebagai Beteng.
"Selain Kedhaton, tembok Baluwarti juga melingkupi kawasan tempat tinggal kerabat Sultan dan permukiman Abdi Dalem, area yang kini sering disebut sebagai kawasan Jeron Beteng," kata Humas Keraton Yogyakarta, Vinia R. Prima, berdasarkan keterangan yang disampaikan ke Republika, Selasa (22/8/2023).
Dikatakan, Baluwarti memiliki kesamaan bunyi dengan kata 'baluarte' dari Bahasa Portugis yang juga berarti benteng. Persamaan ini membuat seorang peneliti sejarah Asia Tenggara, Denys Lombard menyimpulkan bahwa kata Baluwarti memang merupakan kata serapan dari bahasa Portugis.
Hal ini masuk akal mengingat pembangunan tembok Baluwarti memiliki masa yang sama dengan pembangunan Tamansari, yang dirancang oleh seorang arsitek berkebangsaan Portugis. Tembok tersebut didesain dan dibangun pada masa pemerintahan Sri sultan Hamengku Buwono I (1755-1792), pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Bentuknya sendiri mirip persegi empat, tetapi bagian timur lebih besar. Benteng Keraton dari timur ke barat memiliki panjang 1.200 meter, sedangkan arah utara ke selatan sepanjang 940 meter. Di sisi timur Keraton juga diperpanjang ke utara sejauh 200 meter mengingat di sana terletak kediaman Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom atau putra mahkota. Tempat tinggal putra mahkota ini dikenal juga sebagai Istana Sawojajar.
Pada sisi luar benteng, terdapat parit yang dalam dengan air yang jernih. Parit itu disebut jagang dan sisi luarnya diberi pagar bata setinggi satu meter. Pohon gayam ditanam di kawasan tersebut sebagai peneduh di sepanjang jalan yang mengelilingi benteng.
Pada awalnya, benteng ini dibuat dari jajaran dolog (gelondongan) kayu, lalu diperkuat hingga memiliki ketebalan dua batu atau lebih kurang 55 sentimeter (cm) dengan longkangan selebar 2,4 meter, yang mana diurug dengan tanah hasil galian jagang. Tinggi urugan mencapai 3,7 meter dari permukaan tanah awal.
Longkangan tersebut digunakan sebagai pelataran benteng bagian dalam, tempat prajurit dapat berjaga. Dari pelataran ini, tinggi benteng dinaikkan 1,5 meter, sedangkan dinding benteng dibuat dari batu bata yang diplester dengan campuran pasir, gamping, dan tumbukan bata merah.