Jumat 28 Jul 2023 19:09 WIB

Muhammadiyah: Jika Ada Bukti Pelanggaran, Penertiban di Hutan Kota Bisa Dilakukan

Penertiban berpeluang terjadi pada siapa pun, asal terbukti melakukan pelanggaran.

Rep: Zahrotul Oktaviani/ Red: Gita Amanda
Petugas Satpol PP berpatroli di Hutan Kota Cawang, Makasar, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023). Hutan Kota Cawang dijaga 24 jam oleh SKPD setempat dan diberikan lampu penerangan karena sempat diduga sebagai tempat berkumpulnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Petugas Satpol PP berpatroli di Hutan Kota Cawang, Makasar, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023). Hutan Kota Cawang dijaga 24 jam oleh SKPD setempat dan diberikan lampu penerangan karena sempat diduga sebagai tempat berkumpulnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, turut berkomentar perihal rencana penertiban di Hutan Kota Cawang. Penertiban ini disampaikan Wali Kota Jakarta Timur M Anwar, sebab kerap dijadikan sebagai tempat berkumpul kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT).

"Secara prinsip, saya tidak mempermasalahkan penertiban itu kalau memang bisa dibuktikan ada pelanggaran. Selama tidak ada pelanggaran, ya nggak boleh dong (ditertibkan)," ujar dia saat dihubungi Republika, Jumat (28/7/2023).

Baca Juga

Ia menyebut jika ruang publik ini diperkenankan dan dirancang sebagai tempat aktivitas umum, maka tidak boleh orang dilarang masuk dengan semena-mena, atau tanpa bukti/alasan yang jelas.

Jika hutan kota itu diperuntukkan atau bisa diakses oleh umum, maka masyarakat dinilai boleh berkumpul di sana. Lokasi tersebut jg menjadi bagian dari paru-paru kota, yang bisa dinikmati secara gratis oleh warga.

"Kalau kemudian di tempat itu dapat dibuktikan terjadi pelanggaran, apakah ada orang yg melakukan tindakan kriminal, perbuatan tidak pantas, atau melakukan aktivitas yang mengganggu, itu bisa ditertibkan," lanjut Trisno.

Ia juga menyampaikan salah satu tugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) adalah menjaga ketertiban lingkungannya. Mereka merupakan penegak hukum di lingkungan yang bersangkutan, sepanjang itu adalah wilayah kewenangannya.

Kembali pada rencana penertiban kelompok LGBT yang berkumpul di hutan kota, Trisno menyebut jika memang ada aktivitas yang melanggar dan bisa dibuktikan, maka hal ini sah untuk ditertibkan. Namun secara umum, penertiban ini berpeluang terjadi pada siapa pun, asal terbukti melakukan pelanggaran.

"Harus ada bukti yang menunjukkan ada pelanggaran. Kalau langsung menyatakan tidak boleh berkumpul, menyebutkan suatu kelompok tertentu dan baru dugaan, saya rasa itu perlu dibuktikan lebih dulu," kata dia.

Terkait kekhawatiran hutan kota atau fasilitas umum dijadikan lokasi berkumpulnya kelompok LGBT dan tempat melakukan kampanye atau aktivitas lain yang mendukung mereka, Trisno pun turut memberikan pandangannya.

photo
Petugas Satpol PP berjaga di Hutan Kota Cawang, Makasar, Jakarta Timur, Jumat (28/7/2023). Hutan Kota Cawang dijaga 24 jam oleh SKPD setempat dan diberikan lampu penerangan karena sempat diduga sebagai tempat berkumpulnya lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT). - (Republika/Putra M. Akbar)

 

Menurutnya, siapa pun tidak dibolehkan dan tidak diperkenankan menggunakan ruang umum untuk aktivitas tanpa izin. Jika masyarakat hanya datang dan menikmati suasana yang ada, itu bukan sebuah masalah.

Namun, jika tujuannya adalah aktivitas kelompok dalam skala besar, maka harus ada izinnya dan berlaku bagi siapapun. Negara ini disebut memiliki prinsip perizinan untuk melakukan kegiatan/aktivitas, yang mana jika tidak diizinkan maka jangan memaksa.

"Prinsip itu harus menjadi hal yang dihargai dan dihormati. Saya yakin Komnas HAM setuju kalau itu menjadi suatu aktivitas di ruang publik," ucap Trisno.

Ruang publik bukan berarti masyarakat bisa melakukan apapun sebebas-bebasnya. Tiap pihak harus menghormati dan menjaga diri, agar tidak mengganggu hak atau kebebasan org lain.

Menurutnya, jangan sampai ada orang yang tidak bisa beraktivitas di ruang publik karena ada kegiatan, yang ternyata belum punya izin. Atau, ada yang merasa bukan bagian dari kelompok itu sehingga tidak bisa ikut memanfaatkan fasum tersebut.

"Intinya harus ada komunikasi dan koordinasi yang baik, sehingga pemanfaatannya bisa sesuai dengan ketentuan yang berlaku," kata dia. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement