REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Himpunan Penghayat Kepercayaan (HPK) berharap proses menikah, pengurusan umat yang meninggal, termasuk juga pendidikan agama di sekolah dapat dilaksanakan sesuai keyakinan mereka.
Staf Khusus Menteri Agama bidang Media dan Komunikasi Publik Wibowo Prasetyo menjelaskan, penghayat kepercayaan adalah binaan Direktorat Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan Tradisi Ditjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
“Kemenag tidak memiliki kewenangan secara langsung untuk melakukan pembinaan terhadap aliran kepercayaan,” ujar dia dalam keterangan yang didapat Republika.co.id, Kamis (27/7/2023).
Menurut Wibowo, aliran kepercayaan saat ini memang sudah dapat dicatatkan dalam kolom KTP. Pada 2017, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan empat penghayat kepercayaan, yaitu Nggay Mehang Tana, Pagar Demanra Sirait, Arnol Purba dan Carlim terkait Pasal 61 yang menjelaskan tentang pengisian kolom agama pada KTP.
Atas gugatan itu, MK menyatakan kata 'agama' dalam Pasal 61 ayat (1) dan Pasal 64 ayat (1) Undang-undang Nomor 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk 'kepercayaan'.
Baca juga: Ketika Kabah Berlumuran Darah Manusia, Mayat di Sumur Zamzam, dan Haji Terhenti 10 Tahun
Keputusan MK, lanjut dia, bersifat final dan mengikat sehingga harus dipatuhi. Kementerian Agama tentu mematuhi keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang Aliran Kepercayaan.
“Namun, regulasi mengatur Penghayat Kepercayaan adalah binaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, bukan Kemenag. Dalam ketetapan MPR Nomor IV/MPR/ 1978, Nomor II/MPR/ 1983 dan Nomor 11/ MPR/ 1988 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara antara lain ditetapkan bahwa kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha-Esa tidak merupakan agama,” kata dia.
Wibowo menambahkan, Kemendikbud juga telah menerbitkan Pedoman Pembinaan Teknis Penghayat Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Salah satunya diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1991/1992.
Dalam bagian pendahuluan pedoman itu, dijelaskan bahwa pembinaan penghayat kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dilakukan dalam rangka pembangunan kebudayaan karena kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam kenyataannya memang merupakan bagian kebudayaan nasional yang hidup dan dihayati oleh sebagian bangsa Indonesia.