“Konteks hari ini sudah berbeda, makanya perlu pemaknaan kembali, rekontekstualisasi kitab kuning,” ucap Gus Fahrur.
Di bidang pemikiran, menurut dia, para ulama benar-benar mendorong agar melakukan rekontekstualisasi terhadap kitab kuning. Karena, di Afghanistan ulamanya masih membaca kitab kuning dalam konteks yang lama.
“Kapan hari itu saya bertemu dengan ulama Afghanistan, mereka masih membaca kitab untuk masa lalu sehingga perempuan tidak boleh sekolah atau perempuan tidak boleh tampil di tempat umum. Jadi itu konteks-konteks masa lalu yang hari ini harus direkontekstualisasi, bagaimana keadaan hari ini, kan sudah sedemikian rupa, aman,” kata Gus Fahrur.
Selain membahas tentang rekontekstualisasi kitab kuning, Halaqah Ulama Nasional di Lamongan itu juga mengupayakan penguatan pesantren. “Terus tentang penguatan pesantren, sehingga pesantren itu benar-benar mendapatkan kesataraan, rekognisi dari pemerintah, terus tentang kerjasama antar pesantren supaya semakin kokoh. Inti dasarnya itu yang saya ikuti kemarin,” kata Gus Fahrur.
Dia menambahkan, pesantren sekarang sudah berkembang sesuai dengan kebutuhan zaman. Dulu, kata dia, pesantren mayoritas masih salafiyah atau tanpa pendidikan formal. Namun, sekarang pemerintah sudah memberikan ruang untuk menggelar pendidikan formal.
“Seperti Ma’had Aly, itu kan pendidikan pesantren yang sudah dapat pengakuan pemerintah, terus semua pesantren sudah menyelenggrakan sekolah formal. Nah, ini perlu kita berikan afirmasi supaya mereka mendapatkan peran dan bagian yang sama seperti sekolah-sekolah umum,” ucap dia.