REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Nama wanita muda itu adalah Nejra Lilic. Usianya sekitar 20 tahunan. Di tengah hari saat mentari begitu terik, dia membiarkan tubuhnya berkeringat, tubuh yang terbungkus jubah kebesaran alumnus perguruan tinggi, toga berwarna gelap.
Rambutnya tertutupi kain, tanda dia konsisten menutup aurat. Kemudian di atas kepalanya adalah penutup kepala dengan puluhan benang biru menjuntai. Biasanya kumpulan benang ini digeser oleh rektor atau kepala perguruan tinggi, tanda dia sudah menjadi sarjana.
Pada hari yang cerah itu, Nejra tidak bersuka ria bersama teman, kolega, dan saudara. Dia lebih memilih datang ke kuburan ayahnya, Nijaz Lilic (1972-1995), di suatu kompleks permakaman.
Di sana tangan kanannya yang dihiasi sebuah cincin penghias jari manis memegang nisan sang ayah. Dia tatap nisan itu. Wajahnya tak menampakkan senyum. Datar. Kunjungannya seakan memberikan kesan kepada sang ayah bahwa dirinya kini sudah tumbuh dewasa. Sudah berhasil mewujudkan cita-cita sang ayah agar anaknya kelak menjadi sarjana. Setelah itu berkarir dan memberikan manfaat kepada orang banyak.
Ilmu yang didapat akan menjadi bekal menatap masa depan. Kemudian akan mendapatkan banyak pengalaman dan inspirasi untuk membangun kehidupan yang lebih baik. Ya, kehidupan yang lebih baik, kehidupan yang semoga saja tidak lagi diwarnai konflik dan perang Srebrenica, sehingga menewaskan banyak orang, termasuk ayah Nejra yang kini jenazahnya ‘beristirahat’.
Lihat halaman berikutnya >>>