Sabtu 29 Apr 2023 16:21 WIB

Tiga Catatan Mengenai Perbedaan 1 Syawal, Hisab dan Rukyat Hilal

Prof Tholabi Kharlie mengimbau semua pihak bijak menyikapi perbedaan 1 Syawal.

Rep: Mabruroh/ Red: Erdy Nasrul
Wakil Rektor I UIN Jakarta, Profesor Ahmad Tholabi Kharlie
Foto: Dokpri
Wakil Rektor I UIN Jakarta, Profesor Ahmad Tholabi Kharlie

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Rektor I UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof Tholabi Kharlie meminta umat Islam Indonesia menyudahi polemik perbedaan-perbedaan dalam menentukan 1 Ramadhan maupun 1 syawal. Perbedaan ini kata dia, sudah ada sejak zaman dahulu, karenanya dia berharap agar umat Islam Indonesia bisa lebih dewasa dalam menyikapi perbedaan tersebut.

“Dalam Islam perbedaan itu adalah keniscayaan, bahkan oleh Rasulullah saw perbedaan menjadi rahmat atau sebagai wujud kasih sayang Allah kepada umat-Nya,” ujar Prof Tholabi dalam pesan suara yang diterima Republika, Sabtu (29/4/2023).

Baca Juga

Tholabi mengaku sangat prihatin dengan terjadinya kericuhan baru-baru ini karena perbedaan penentuan 1 syawal, yang lagi-lagi menurutnya hal ini sudah selesai dan tidak perlu lagi diperdebatkan. Apalagi kasus ini sangat menyinggung golongan tertentu hingga harus berlanjut di ranah hukum.

“Tentu kita ikut prihatin, menyayangkan sikap dari salah seorang warga negara muslim yang tidak menyikapi secara tepat perbedaan yang terjadi, terkait praktik dan paham keberagamaan yang sejatinya dalam Islam adalah sebuah keniscayaan," ujarnya.

 

Dengan adanya perbedaan, lanjut dia, banyak hal yang kemudian bisa dimaknai secara beragam sehingga tidak menyulitkan umat Islam dalam menjalankan agama. Dengan keberagaman inilah kemudian melahirkan kemudahan-kemudahan, moderasi, sehingga agama bukan menjadi sesuatu yang menyulitkan, menyeramkan, tapi justru menjadi hal yang sangat bisa dinikmati, karena adanya keberagaman itu.

“Saya kira itu makna dari ikhtilaafu ummati rahmah, bahwa perbedaan pandangan, perbedaan faham yang terjadi di tengah umat Islam itu adalah wujud kasih sayang Allah swt kepada umat-Nya. Kita tentu tidak bisa membayangkan jika Islam tidak mengenal perbedaan, alangkah tentu dalam situasi-situasi tertentu akan menyulitkan umat Islam dalam mengamalkan (mempraktekkan) agamanya,” terang Prof Tholabi.

Ada tiga catatan yang menurutnya harus disampaikan kepada seluruh masyarakat muslim Indonesia dalam menyikapi perbedaan-perbedaan ini.

Catatan pertama, sejatinya perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan dan harus disikapi secara benar, secara bijak dan dalam batas-batas tertentu perbedaan itu perlu disyukuri. “Tinggal kita menempatkan perbedaan itu dengan benar, bukan dijadikan sebagai faktor pemicu konflik atau memperuncing perbedaan sebagai alasan saling serang atau saling menjelekkan menyudutkan dan sebagainya,” terang Tholabi.

Catatan kedua, karena perbedaan sebuah keniscayaan maka mestinya perbedaan-perbedaan atau argumen-argumen hukum yang berbeda itu harus dilakukan dalam konteks khazanah keilmuan, keislaman yang kita tahu sungguh sangat luas. Sehingga ketika semua orang berfikir dengan dasar keilmuan, dengan semangat keilmuan, maka yang akan muncul adalah samudra keilmuan Islam yang luar biasa luas.

Jika saja ini yang dimunculkan sebagai tradisi, ungkapnya, di mana semua didasari dengan semangat keilmuan maka hal-hal yang kontra produktif seperti saling mencerca, mencaci, menjelekkan, itu tidak akan pernah terjadi. Karena karakteristik ilmu pengetahuan sendiri adalah bersifat objektif, tidak subjektif jadi tidak akan muncul model-model pemikiran yang menyerang pribadi, menyerang golongan,  tapi yang akan muncul adalah saling menunjukkan argumentasi yang kuat dan harus didasarkan pada ilmu pengetahuan.

 

“Saya kira dalam konteks perbedaan penentuan 1 syawal ini punya argumentasi keilmuan, mestinya semua orang Islam terlebih seorang ilmuwan, pemikir, perdebatan itu memang harus didasarkan pada semangat keilmuan, semangat untuk mengkaji secara benar berdasarkan dalil-dalil , dasar-dasar yang kuat. Dan tidak ada cerita kalau perdebatan akan melahirkan konflik atau permusuhan, karena semangat yang mendasari adalah semangat ilmu pengetahuan bukan semangat sektarianisme, atau sukuisme, fanatisme organisasi dan seterusnya,” jelasnya.

 

“Saya kira ini harus dihidupkan dalam tradisi keilmuan kita di Indonesia, para ilmuwan, pemikir, ulama, harus memberikan contoh yang baik terhadap umatnya, bagaimana menyikapi sebuah perbedaan yang ada di tengah-tengah  masyarakat,” tuturnya.

 

Catatan ketiga, bahwa perbedaan tentang penentuan 1 syawal, 1 ramadhan itu bukan hal baru dan memang sudah ada sejak zaman dahulu, zaman permulaan Islam, bahkan dalam konteks Indonesia sudah biasa terjadi. Karena ini hal yang sudah biasa terjadi, mestinya kata Tholabi, masyarakat Indonesia semakin dewasa, semakin cerdas dan semakin bijak dalam menyikapi itu.

 

“Bukan sebaliknya, jadi mestinya kita semakin dewasa, semakin bijak dalam menyikapi perbedaan, kalaupun ada oknum-oknum, saya kira perlu kita sikapi juga secara benar, jangan terprovokasi oleh sikap-sikap pribadi yang tentu ini merupakan tindakan yang tidak baik, kontra produktif dengan semangat persatuan bangsa, ukhuwah islamiyah, kita tentu ingin masyarakat tidak terprovokasi, tidak mengaitkan dengan kelompok-kelompok tertentu. Jadi jika memang ada perbuatan warga Negara yang memenuhi unsur pelanggaran terhadap hukum tentu diproses saja secara hukum, tapi kita juga tentu ingin mengedepankan situasi yang damai, terlebih saat ini masih dalam situasi Idul fitri, masih saling maaf dan memberikan maaf , sehingga tidak elok jika kemudian dalam suasana penuh maaf ini terjadi kegaduhan di ruang publik,” harapnya.

 

Terakhir, Tholabi menambahkan kepada para tokoh- tokoh profesional, pengamat, dan masyarakat secara umum untuk tidak membuat pernyataan-pernyataan yang memunculkan kegaduhan, merusak suasana kedamaian, merusak suasana idul Fitri yang penuh kegembiraan, menjadi rusak oleh perdebatan-perdebatan yang sesungguhnya sudah tidak perlu lagi diperdebatkan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement