REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Perempuan, Remaja dan Keluarga (PRK), Prof Amany Lubis menyampaikan tanggapan soal praktik ibadah sholat berjamaah di Pesantren Al Zaytun.
Praktik yang dimaksud yakni perempuan berada di shaf pertama sholat dan bercampur dengan laki-laki.
"Sholat itu sudah diatur dalam mazhab-mazhab yang berbeda, terkait di mana posisi perempuan saat sholat. Dalam konteks pribadi, perempuan sholat di rumah. Di atas sajadahnya itulah masjidnya," terang mantan rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, kepada Republika.co.id, Jumat (28/4/2023).
Namun, Amany melanjutkan, jika perempuan ingin sholat di masjid, tentu dibolehkan. Dalam Mazhab Syafi'i, posisi perempuan saat diimami langsung laki-laki, berada di belakang shaf laki-laki.
Ketentuan ini berlaku baik saat melaksanakan sholat berjamaah bersama keluarga di rumah maupun ketika di masjid.
Seiring dengan perkembangan zaman, jelas Amany, posisi perempuan saat melaksanakan sholat berjamaah ada di sebelah laki-laki, tetapi dengan ada pembatas pemisah (satir). Inilah yang dilakukan di masjid nasional Masjid Istiqlal dan hal tersebut boleh.
"Yang tidak boleh itu adalah bercampurnya laki-laki dan perempuan di dalam masjid, bersebelah-sebelahan, selang-seling. Ini namanya kacau. Dari berita yang beredar itu, bahwa satu perempuan ada di (shaf) depan dan katanya untuk memuliakan perempuan, ini bukan alasan," kata dia.
Amany menekankan, semua ajaran Islam itu adalah untuk memuliakan perempuan dan juga laki-laki. Seluruh manusia dimuliakan dengan ajaran agama Islam yang benar. Karena itu, tidak perlu berpikir jika perempuan bermakmum di belakang shaf laki-laki berarti tidak memuliakan perempuan.
"Tidak perlu dibandingkan kalau perempuan bermakmum di belakang berarti dipinggirkan atau dibelakangkan. Kita tidak perlu berpikir seperti itu. Untuk itu, perempuan tetap menjadi makmum dan ada di belakang shaf laki-laki," tuturnya.
Baca juga: Yang Terjadi Terhadap Tentara Salib Saat Shalahuddin Taklukkan Yerusalem
Lain halnya jika di Masjidil Haram. Perempuan boleh berada di sebelah laki-laki, tetapi dengan catatan, ini sudah diatur lokasi-lokasinya. Ada area tertentu untuk sholat laki-laki dan perempuan.
"Kalau kita lihat di Masjidil Haram, perempuan boleh berada di sebelah laki-laki tetapi ini sudah diatur. Ada lokasi-lokasi tertentu yang hanya untuk perempuan dan lokasi tertentu untuk laki-laki. Tidak bercambur-baur. Selama masih bisa diatur, harus diatur," jelasnya.
Amany juga menyampaikan soal bagaimana bentuk pemuliaan terhadap perempuan. Dia mengatakan, perempuan harus sadar akan diri dan posisinya. "Pemuliaan terhadap perempuan adalah ketika perempuan menghormati dirinya sendiri, dan tahu posisinya," ujarnya.