Rabu 22 Oct 2025 17:32 WIB

Sejarawan: Resolusi Jihad Pernah Dihilangkan dari Sejarah

Resolusi jihad dinilai penting bagi kemerdekaan Indonesia.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Muhammad Hafil
Sejarawan Asvi Warman Adam.
Foto: Antara
Sejarawan Asvi Warman Adam.

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Sejarawan Asvi Warman Adam mengungkapkan resolusi jihad pernah dihilangkan dari penulisan sejarah resmi Indonesia, khususnya selama masa Orde Baru. Padahal resolusi jihad dinilai penting bagi kemerdekaan Indonesia. 

Hal itu disampaikan Asvi dalam diskusi peringatan Hari Santri Nasional 2025 di Sekolah Partai PDIP, Lenteng Agung, Rabu (22/10/2025). Asvi menilai momentum Hari Santri merupakan mengingat peran santri dan ulama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Salah satu tonggak sejarah yang lahir dari kalangan pesantren adalah Resolusi Jihad yang dicetuskan oleh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945 di Surabaya. 

 

“Selama Orde Baru tidak pernah ditulis di sejarah Indonesia, padahal ada aspek yang lain, yang membuat rakyat Surabaya berjuang, yaitu resolusi jihad yang dikeluarkan KH Hasyim Asy’ari," kata Asvi dalam diskusi itu. 

 

Asvi menemukan resolusi jihad tidak masuk dalam pembahasan sejarah Indonesia selama puluhan tahun. Kondisi ini berubah ketika reformasi 1998. Setelahnya, sejarah soal resolusi jihad mulai terungkap ke permukaan. 

 

"Sepanjang 30 tahun tidak pernah disinggung, tidak pernah ditulis sejarah Indonesia, baru era reformasi ini baru diungkapkan,” ujar Asvi

 

Oleh karena itu, Asvi tak mempersoalkan dengan niatan pemerintah sekarang yang ingin menulis ulang sejarah. Hanya saja, Asvi berpesan agar penulisan ini perlu dikawal agar peran KH Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad tetap dimasukan.

 

“Sekarang, pemerintah sedang membuat buku sejarah nasional yang baru, kita perlu mengawasi bahwa ini bisa dimasukan ini, Resolusi Jihad itu dicatat dalam sejarah,” ujar Asvi.

 

Sementara itu, Sekjen Nasyiatul Aisyiyah Muhammadiyah 2012-2016, Ulfa Mawardi berharap pesantren harus bisa bertransformasi dari ruang ibadah ke ruang peradaban. Hal itu merupakan pesan dari pemikiran Bung Karno. 

 

“Momentum Pesantren (tradisional) mampu membaca relasi antara media, agama dan kebudayaan,” ujar Ulfa. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement