Ahad 23 Apr 2023 21:42 WIB

Ramuan Madura dan Tradisi Mudik Lebaran dalam Budaya Madura

Mudik lebaran di Madura penuh dengan nuansa kearifan.

Ilustrasi mudik menuju Madura.
Foto:

Di Kecamatan Larangan, Kabupaten Pamekasan, sejumlah warga tampak menghadiri kediaman para kiai atau ustaz dengan membawa hantaran makanan, terutama orang tua yang memiliki anak masih belajar mengaji. Selain mengantar makanan, orang tua laki-laki juga mengikuti pembacaan takbir di masjid atau langgar.

Lantunan takbir baru berhenti di atas pukul 23 WIB dan suasana perdesaan itu kembali sepi. Pada pukul 03:00 dini hari lantunan lafaz yang mengagungkan nama Allah itu kembali berkumandang dan baru berhenti sekitar pukul 7 pagi saat tiba waktunya Shalat Id. Shalat Idul Fitri dilaksanakan terpencar di masjid dan langgar atau mushalla, sehingga tidak ada penumpukan jamaah dalam satu masjid, seperti di kota-kota.

Dalam satu langgar, jamaah yang hadir antara 30 hingga 50 orang.

Hal yang mungkin berbeda dengan Shalat Id di perkotaan adalah khotbah yang hanya disampaikan dengan Bahasa Arab. Tidak ada pesan-pesan Idul Fitri dengan Bahasa Madura atau Bahasa Indonesia dalam khotbah itu.

Ustadz Ali Ghufron, alumni Tafsir Alquran Universitas Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, menjelaskan bahwa sebaiknya khotbah itu disampaikan dengan bahasa yang dimengerti oleh jamaah karena di dalamnya mengandung pesan-pesan keagamaan.

Ia mengakui bahwa tidak mudah mengubah kebiasaan beribadah dari kebiasaan sebelumnya karena bisa menjadi masalah secara sosial.

Menurut penuturan sejumlah warga di Desa Lancar, Kecamatan Larangan, dari zaman dulu tradisi Shalat Id memang seperti itu dan terus dipertahankan hingga kini.

"Shalat Id di sini memang begitu, sama dengan Shalat Jumat, yang khotbahnya tidak ada ada yang berbahasa Indonesia atau Madura," kata Ahmad, seorang warga.

Para tokoh agama di perdesaan tidak pernah berani mengubah kebiasaan dalam ritual itu karena khawatir menjadi persoalan di masyarakat. Penuturan warga, di desa lain pernah ada tokoh muda yang ingin mengadopsi cara khotbah Shalat Jumat yang ditambahi dengan tausiyah menggunakan Bahasa Madura, dengan harapan ada pesan-pesan agama yang bisa disampaikan kepada jamaah yang hadir.

Bukannya mendapat dukungan, perubahan itu justru mengurangi jumlah jamaah Shalat Jumat. Beberapa warga memilih tidak Shalat Jumat karena "protes" dengan perubahan kebiasaan dalam pembacaan khotbah itu. Dari segi waktu, penambahan materi khotbah dengan bahasa lokal justru memperlama waktu pelaksanaan shalat berjamaah. 

Karena alasan itulah, maka kebiasaan Shalat Id juga tetap dipertahankan menggunakan kebiasaan lama.

Perbedaan lain

Lihat halaman berikutnya...

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement