REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyebut Cina telah memisahkan sekitar 1 juta anak-anak Tibet dari keluarga mereka, dan menempatkan di sekolah berasrama khusus yang dikelola oleh Pemerintah Cina.
Mewakili PBB, pakar hak asasi manusia (HAM) antara lain Fernand de Varennes yang fokus dalam isu-isu minoritas dan Farida Shaheed, pelopor khusus tentang hak atas pendidikan, telah menyuarakan peringatan atas penerapan asimilasi paksa yang menindas.
"Kami (PBB) sangat terganggu dalam beberapa tahun terakhir ini, sistem sekolah asrama untuk anak-anak Tibet diterapkan oleh Cina," kata PBB, seperti dilansir The Next Shark, (8/2).
"Tampaknya bertindak sebagai program skala besar wajib untuk mengasimilasi orang Tibet ke dalam budaya mayoritas Han, bertentangan dengan standar hak asasi manusia internasional," tambah PBB.
Menanggapi hal ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) meminta Indonesia dan negara dunia untuk tak tinggal diam dengan aksi serta kegiatan Cina yang di indikasi akan merubah peradaban Tibet.
Wakil bendahara umum DPP PII, Furqan Raka mengatakan dunia tidak boleh diam dengan melihat aksi Beijing meluluh lantakkan peradaban Tibet, terutama kepada anak-anak yang sejatinya adalah masa depan bangsa Tibet.
“Selain temuan PBB, kami juga mendapatkan informasi dari berbagai media yang menyebutkan sekolah berasrama kolonial Beijing di Tibet adalah pusat pendidikan dan pelatihan sejak 2016,” kata Furqan Raka, Jum’at (24/3/2023).
Pemerintah Cina mengklaim bahwa sekolah-sekolah ini dirancang untuk memerangi kemiskinan dan meningkatkan pendidikan warga Tibet, lanjut Furqan Faka, namun pada kenyataannya sekolah tersebut adalah alat untuk indoktrinasi politik dan asimilasi budaya.
Melalui media massa miliknya, antara lain China Daily, Beijing menerbitkan sebuah artikel yang mengklaim bahwa sekolah berasrama di Tibet untuk mempersempit kesenjangan pendidikan pedesaan-perkotaan di wilayah tersebut.
Akan tetapi, bertentangan dengan apa yang dilaporkan oleh media pemerintah Cina, sekolah berasrama ternyata bukanlah inisiatif pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan kehidupan anak-anak Tibet.
Sebaliknya, sekolah tersebut adalah bagian dari kampanye asimilasi dan kontrol budaya yang lebih besar untuk mendestruksi kultur Tibet dari generasi masa depan Tibet sendiri.
Sebuah laporan terobosan yang diterbitkan oleh Institut Aksi Tibet mengungkap sistem sekolah asrama kolonial Cina yang masif di Tibet.
Sedikitnya 800.000 hingga 900.000 anak-anak Tibet usia 6 sampai 18 tahun dipisahkan dari orang tua dan keluarga mereka di sekolah yang dirancang untuk melepaskan identitas mereka. Angka Ini tidak termasuk anak usia empat dan lima tahun di pra-sekolah berasrama.
Dalam anjuran propaganda terbarunya, pemerintah Cina telah merilis serangkaian video dan artikel yang merupakan manfaat sekolah berasrama. Mereka juga menunjukkan siswa berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler seperti menari dan olahraga.
“Analisa PBB ini juga langsung dibantah oleh Beijing dimana Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Mao Ning juga menuding media massa barat mengarang cerita dan menyebarkan tuduhan palsu berdasarkan pernyataan PBB,” tutur Furqan Raka.
Bantahan Beijing ini diutarakan Mao Ning dalam konferensi pers rutin ketika diminta mengomentari beberapa laporan media barat yang mengatakan ada "sekolah residensial" di Tibet dan menjadi bagian dari kampanye asimilasi skala besar pemerintah China yang menargetkan warga Tibet.
Mao menyebut pernyataan PBB dan artikel yang dibuat media massa barat tidak benar dan tampaknya hanya tuduhan lain yang bertujuan untuk menyesatkan publik dan mencoreng citra Cina.
“Simple sih, jika analisa PBB tidak benar, Beijing kasih izin PBB dan penggiat HAM internasional masuk ke asrama-asrama yang dihuni anak-anak Tibet, berani?,” ungkap Furqan Raka.
Dalam laporan maupun artikel yang diterbitkan sejumlah media massa menyebutkan anak-anak dari komunitas pedesaan Tibet ditempatkan di sekolah asrama, yang dibangun di sekitar budaya Han dan dilakukan hanya dalam bahasa Mandarin.
Sekolah-sekolah yang didirikan pemerintah Cina, dilaporkan menyediakan sedikit atau tidak sama sekali pelajaran tentang bahasa, sejarah dan budaya minoritas Tibet.
PBB menyatakan keprihatinan atas laporan peningkatan jumlah sekolah asrama yang beroperasi di dalam dan di luar Daerah Otonomi Tibet.
Persentase siswa asrama lebih dari 20 persen secara nasional, dengan para ahli PBB mencatat sebagian besar anak-anak Tibet ditempatkan di sekolah asrama.
Peningkatan jumlah siswa asrama Tibet dicapai dengan penutupan sekolah pedesaan di daerah yang cenderung dihuni oleh orang Tibet.
“Jelas asrama Beijing patut diduga sebagai sarana ‘cuci otak’ bagi generasi masa depan Tibet. Mirip-mirip kamp konsentrasi yang dibangun China bagi muslim Uighur,” pungkas Furqan Raka.