Perkelahian di antara anggota klan pecah di sekolah mereka. Sekolah pun tak lagi dapat dijadikan sebagai tempat perlindungan.
“Kami harus bersembunyi. Kami tidak punya kebebasan. Kami tidak bisa keluar. Kami bahkan tidak bisa bersekolah. Itu benar-benar mempengaruhi impian kami memiliki kehidupan yang damai dan normal,” kata Dida-Agun.
Dinamika klan yang bergejolak dan persaingan politik berkontribusi pada ketidakstabilan di wilayah selatan Mindanao, dengan persilangan kekerasan perang klan dan pemberontakan yang melumpuhkan komunitas. Pada Mei 2020, pemerintah melaporkan perang suku telah membuat lebih dari 4.500 warga sipil mengungsi.
Pada 2009, persaingan politik antara dua keluarga, Mangudadatus dan Ampatuan, mengakibatkan kematian 58 orang, termasuk anggota pers lokal. Pembantaian itu dipandang sebagai kasus kekerasan terkait pemilu terburuk dalam sejarah Filipina.
Menurut Direktur Pusat Riset dan Pengembangan Mindanao State University dan penulis buku Gender and Conflict in Mindanao Rufa Guiam, rido membawa perjuangan laki-laki dan perempuan yang berbeda. Ketika anggota keluarga laki-laki menjadi target utama, mobilitas mereka terbatas dan mereka tidak dapat bekerja atau melakukan tugas yang diharapkan sebagai pencari nafkah.
Hal ini memberikan beban yang lebih besar bagi perempuan untuk menghasilkan pendapatan, selain tugas mereka mengurus rumah dan anggota keluarga. “Dalam banyak kasus, hal itu menyebabkan depresi di kalangan pria. Wanita menjadi penyerap depresi dan frustrasi pria,” kata Guiam.
Seperti Dida-Agun, Jamal Baulo (29 tahun) juga terjebak dalam perang suku antara dua keluarga di lingkungannya. Kekerasan dan konflik yang berulang di komunitas mereka membuat Baulo merasa putus asa tentang masa depannya dan masa depan Mindanao.