REPUBLIKA.CO.ID, MANILA -- Kelompok hak asasi manusia mengutuk Presiden Filipina Rodrigo Duterte lantaran memberikan penghargaan kepada 17 pasukan khusus yang keterlibatan dalam pembunuhan tujuh pemuda Muslim.
Seperti dilansir di Euroasia Review, Kamis (27/9), Duterte memberikan medali kepada para prajurit yang terluka di sebuah rumah sakit militer di kota Jolo, provinsi Sulu, dalam kunjungan 24 September. Kunjungan tersebut dirahasiakan.
Para tentara terluka setelah bentrokan yang dilaporkan antara pasukan dan kelompok teror Abu Sayyaf di kota Patikul pada 14 September. Para militer mempertahankan ada pertemuan bersenjata dengan sekitar 100 orang bersenjata teroris.
Kelompok hak asasi manusia menyatakan tujuh pemuda yang tewas itu bukan bagian dari kelompok teror dan mereka terperangkap dalam pertempuran. Salah satu keluarga mereka menyangkal mereka adalah anggota Abu Sayyaf, berjanji setia kepada apa yang disebut kelompok ISIS. Para keluarga korban menyatakan mereka yang meninggal adalah pemetik buah yang bekerja di sebuah peternakan di dekatnya.
Uskup Antonio Ablon dari Gereja Independen Filipina menggambarkan insiden itu sebagai pembantaian dan orang tersebut dieksekusi oleh para tentara. Juru bicara Komando Mindanao Barat Militer, Letnan Kolonel Gerry Besana, bersikeras tujuh orang itu adalah teroris yang terbunuh dalam operasi militer yang legal.
Ketua kelompok Voice of the Bangsamoro, Jerome Succor Aba mengatakan kunjungan Duterte ke tentara yang terluka merupakan upaya putus asa untuk mencuci darah dari tangan para prajurit. Aba mengatakan, darurat militer di Filipina selatan telah memaksa pasukan negara untuk melakukan kekerasan terhadap rakyat Bangsamoro.
Komisi Hak Asasi Manusia di Daerah Otonom di Mindanao Muslim telah menyatakan keprihatinan besar atas keselamatan orang-orang di provinsi Sulu setelah pembunuhan. Ketua Komisi, Abdulnasser Badrudin, mengatakan insiden itu menunjukkan penggunaan otoritas militer yang berlebihan dan kegagalan untuk melakukan uji tuntas.
Ia mengingatkan pemerintah hak untuk hidup terus diganggu gugat bahkan selama operasi militer dan darurat militer. Pusat Filipina untuk Islam dan Demokrasi di Manila, menyerukan penyelidikan atas insiden tersebut. Amina Rasul, presidennya, mengatakan pemerintah harus bertindak proaktif dan mengatasi ekstremisme kekerasan, mengingat potensi masalah dengan penerapan darurat militer.
Organisasi itu mendesak Duterte untuk meninjau darurat militer di Mindanao dan menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia yang dilaporkan tidak hanya di Sulu tetapi di bagian lain di wilayah itu. Pada 25 September, kelompok hak asasi manusia Karapatan melaporkan seorang pembela hak asasi wanita perempuan tewas di provinsi Maguindanao pada 23 September.
Mariam Uy Acob (43 tahun)` paralegal dari Aliansi Hak Asasi Manusia Kawagib Moro, ditembak mati oleh orang-orang yang dicurigai sebagai agen militer, Karapatan mengatakan dalam sebuah pernyataan. Kelompok hak asasi manusia menggambarkan Acob sebagai kritikus militerisasi yang gigih di Komunitas Moro yang secara konsisten mengecam pengeboman udara dan perkemahan di masyarakat.