Dia mengatakan pemerintah Taliban ingin wanita tetap tidak berpendidikan. Karena jika wanita berpendidikan maka mereka tidak akan pernah menerima pemerintahan yang mengeksploitasi Islam dan Alquran.
"Mereka akan membela hak-hak mereka. Itulah ketakutan yang dimiliki Pemerintah Taliban,” tegasnya.
Di universitas swasta ibu kota, siswa laki-laki kembali ke kelas pada Senin. "Kakak perempuanku, sayangnya, tidak bisa datang ke universitas. Dia mencoba belajar di rumah," kata Ebratullah Rahimi, mahasiswa jurnalisme lainnya.
Beberapa pejabat Taliban mengatakan larangan pendidikan perempuan bersifat sementara tetapi, meskipun ada janji, mereka telah gagal membuka kembali sekolah menengah untuk anak perempuan, yang telah ditutup selama lebih dari setahun.
Pihak berwenang telah mengeluarkan serangkaian alasan untuk penutupan, dari kekurangan dana hingga waktu yang dibutuhkan untuk merombak silabus.
Kenyataannya, menurut beberapa pejabat Taliban, adalah bahwa ulama ultra-konservatif yang menasihati pemimpin tertinggi Afghanistan Hibatullah Akhundzada sangat skeptis terhadap pendidikan modern bagi perempuan.
Otoritas Taliban telah secara efektif memeras perempuan dari kehidupan publik sejak merebut kembali kekuasaan.
Wanita telah dikeluarkan dari banyak pekerjaan pemerintah atau dibayar sebagian kecil dari gaji mereka sebelumnya untuk tinggal di rumah.
Baca juga: Muhammadiyah Resmi Beli Gereja di Spanyol yang Juga Bekas Masjid Era Abbasiyah
Mereka juga dilarang pergi ke taman, pameran, pusat kebugaran dan pemandian umum, dan harus ditutup-tutupi di depan umum.
Kelompok hak asasi manusia telah mengutuk pembatasan tersebut, yang oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa disebut "artheid berbasis gender".
Komunitas internasional telah menjadikan hak atas pendidikan bagi perempuan sebagai titik tolak dalam negosiasi atas bantuan dan pengakuan pemerintah Taliban
Sejauh ini belum ada negara yang secara resmi mengakui Taliban sebagai penguasa sah Afghanistan.
Sumber: ahram