REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA— Sebuah artikel di sebuah majalah Amerika mengeksplorasi perbedaan mencolok bagaimana Barat, terutama Amerika Serikat, akan memperlakukan Suriah dan Afghanistan pada 2025.
Meskipun merupakan negara yang dilanda konflik dan pernah dikaitkan dengan militansi Islam, Suriah dirangkul secara diplomatis, sementara Afghanistan yang diperintah oleh Taliban masih terisolasi.
Dalam sebuah artikel di majalah Foreign Policy, Adam Weinstein mencoba untuk menjelaskan alasan-alasan dari perbedaan pendekatan Barat terhadap pemerintah Suriah yang baru dan Taliban di Afghanistan.
Analis politik dan Wakil Direktur Program Timur Tengah di Quincy Institute ini mengidentifikasi lima poin penting untuk menggambarkan manifestasi, penyebab, dan pelajaran yang dapat dipetik dari perbedaan ini:
Pertama, rehabilitasi Suriah yang mendadak
Para pemimpin Barat menyambut presiden Suriah yang baru, Ahmed al-Sharaa, seorang mantan pemimpin jihadis yang dikenal sebagai Abu Mohammed al-Joulani saat dia memimpin Hay'at Tahrir al-Sham (cabang Al-Qaeda di Suriah).
BACA JUGA: Rudal Houthi Bernamakan Pedang Nabi SAW Hantam Israel: Takbir di Yerusalem, Pujian di Medsos
Al-Sharaa telah bertemu dengan para pemimpin dunia, terutama Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.
Al-Sharaa telah menerima pujian di kalangan diplomatik dan telah menyaksikan kembalinya Suriah ke forum-forum internasional.
