Ahad 26 Feb 2023 16:10 WIB

Kisah Wanita yang Mengaku Nabi di Hadapan Al Mutawakkil, Ini Argumentasinya

Al Mutawakkil membantah klaim wanita yang mengaku nabi

Rep: Rossi Handayani / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi nabi. Al Mutawakkil membantah klaim wanita yang mengaku nabi
Foto: Dok Republika
Ilustrasi nabi. Al Mutawakkil membantah klaim wanita yang mengaku nabi

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pada zaman kepemimpinan khalifah Dinasti Abbasiyah Al Mutawakkil ada seorang wanita yang mengaku sebagai nabi.

Baca Juga

Dikutip dari Buku Aneh dan Lucu, 100 Kisah Menarik Penuh Ibrah karya Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi, Al Mutawakkil memanggil nabi palsu tersebut dan bertanya kepadanya,

“Apakah Anda seorang nabi?” Jawabnya, “Ya.” Al-Mutawakkil bertanya lagi, “Apakah Anda beriman dengan Muhammad ﷺ?” Jawab wanita itu, “Ya.” Al Mutawakkil berkata,

“Sesungguhnya Nabi Muhammad ﷺ bersabda, "لا نبي بعدي “Tidak ada nabi (laki-laki) setelahku.’ (HR Bukhari-Muslim)

Wanita itu menjawab, “Benar, tetapi Nabi tidak mengatakan: لا نبية بعدي ‘Tidak ada nabi perempuan setelahku.’

Ini adalah pemahaman yang salah dari wanita tersebut, sebab sabda Nabi Muhammad ﷺ “tidak ada nabi” sudah mencakup laki-laki dan wanita, karena kaidahnya “khithab untuk laki-laki juga mencakup wanita kecuali apabila ada dalil yang mengkhususkannya.”  (Mudzakkirah Ushul Fiqih dan Ma’alim Ushulil Fiqhi ’Inda Ahli Sunnah wal Jama’ah). Mendengar jawaban wanita itu, al-Mutawakkil tertawa. (Lihat, Thara‘if minat Turats)

Kisah ini menunjukkan bahwa nabi-nabi palsu sudah semarak pada zaman dahulu, padahal mengaku nabi (atau membenarkan orang yang mengakui nabi) setelah Muhammad ﷺ adalah sebuah kedustaan dan kekufuran nyata. Apalagi jika pengakunya adalah wanita, sebab tidak ada nabi berjenis kelamin wanita. 

Baca juga: Ketika Sayyidina Hasan Ditolak Dimakamkan Dekat Sang Kakek Muhammad SAW

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan, “Tidak ada nabi dari kalangan wanita. Dan telah menukil ijmak tentangnya tidak sedikit ulama seperti al-Qadhi Abu Bakar bin Thayyib, Abu Ya’la bin Abul Fara’, Abul Ma’ali al-Juwaini, dan selain mereka. Hal ini dikuatkan firman Allah Azza wa Jalla:

وَمَآ اَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُّوْحِيْٓ اِلَيْهِمْ مِّنْ اَهْلِ الْقُرٰىۗ اَفَلَمْ يَسِيْرُوْا فِى الْاَرْضِ فَيَنْظُرُوْا كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِهِمْۗ وَلَدَارُ الْاٰخِرَةِ خَيْرٌ لِّلَّذِيْنَ اتَّقَوْاۗ اَفَلَا تَعْقِلُوْنَ

“Dan Kami tidak mengutus sebelummu (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri. Tidakkah mereka bepergian di bumi lalu melihat bagaimana kesudahan orang-orang sebelum mereka (yang mendustakan rasul). Dan sungguh, negeri akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertakwa. Tidakkah kamu mengerti?.” (QS Yusuf ayat 109)      

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement