REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Presiden RI, KH Ma'ruf Amin secara resmi membuka Muktamar Internasional Fikih Peradaban I di Hotel Shangri-La Surabaya, Jawa Timur, pada Senin (6/2/2023) pagi.
Kiai Ma'ruf membuka acara yang diinisiasi Nahdlatul Ulama (NU) ini dengan memukul beduk, sebuah gendang besar yang biasanya digunakan di masjid untuk memberitahukan waktu sholat.
Saat memukul beduk itu, Kiai Ma'ruf tampak didampingi Mustasyar PBNU KH Ahmad Mustofa Bishri, Rais 'Aam PBNU KH Miftachul Akhyar, Ketum PBNU KH Yahya Cholil Staquf, dan Wakil Imam Akbar Al Azhar Muhammad al-Dhuwaini.
"Dengan mengucapkan bismillahirrahmanirrahim, Muktamar Internasional Fikih Peradaban resmi saya nyatakan dibuka," ujar Kiai Ma'ruf yang kemudian langsung memukul beduk.
Berdasarkan pantaian Republika.co.id, ada ratusan peserta yang hadir dalam acara muktamar ini, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Mereka terdiri dari ulama yang mewakili institusi lembaga maupun mufti di negaranya. Peserta delegasi dari luar negeri sendiri ada sekitar 70-an orang dari 40 negara.
Kiai Ma'ruf tiba di lokasi acara sekitar pukul 09.00 WIB. Ia datang bersama sejumlah ulama NU, seperti KH Miftachul Akhyar dan KH Mustofa Bisri (Gus Mus). Hadir pula Ibu Negara Keempat RI, Nyai Sinta Nuriyah Wahid.
Dalam sambutannya, Kiai Ma'ruf menyampaikan bahwa ilmu fikih harus mampu merespons dinamika masyarakat dan perkembangan zaman. "Ilmu fikih harus dapat menyesuaikan dan berkarakteristik dinamis menerima perkembangan zaman," kata Kiai Ma'ruf.
Menurut Kiai Ma'ruf, keniscayaan akan fatwa baru penting lantaran sumber hukum utama, Alquran dan hadits sangat terbatas, sementara permasalahan baru dan terbarukan datang silih berganti.
"Orang yang berpikir bahwa hukum tidak bisa berubah maka bisa dipastikan orang itu tidak memahami Islam itu sendiri," jelas dia.
Dalam hal ini, lanjut dia, NU sebetulnya sudah lama mengadopsi fleksibilitas dan pemikiran Islam. Itu dilakukan pada Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU di Lampung pada 1992 silam.
"NU telah memiliki metodologi induksi untuk menghadapi isu-isu kontemporer baik wacana maupun metodologi, sehingga NU dalam menyaksikan realitas tidak semena-mena mengutip melainkan melalui ijtima ulama melalui ushul fiqh," kata mantan Ketua Umum MUI ini.
Tak hanya itu, lanjut dia, pertemuan itu juga mendefinisikan karakteristik NU yang moderat dan berbasis metodologi. Oleh karena itu, NU bisa mengemukakan metodologi global dan terkini.
"Karena kami sadar bahwa membangun peradaban itu penting. Manusia bertugas untuk mengelola peradaban dunia dan bertanggung jawab memakmurkan bumi," tutupnya.