REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Wakil Presiden Ma'ruf Amin membuka secara resmi Muktamar Internasional I Fikih Peradaban yang digelar di Hotel Shangri-La, Surabaya, Jawa Timur, Senin (6/2/2023). Kiai Ma'ruf mengapresiasi penyelenggaraan Muktamar yang merupakan rangkaian peringatan Hari Lahir Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) tersebut.
Kiai Ma'ruf mengatakan, pentingnya memahami kontekstualisasi pandangan keagamaan dengan realitas peradaban yang berubah. Karenanya, hal itu menjadi tema dalam keynote speech kali ini.
"Topik ini sangat menarik khususnya jika dikaitkan dengan karakter hukum Islam atau fiqih yang fleksibel murunah dan dinamis," ujar Kiai Ma'ruf dalam keynote speechnya.
Ma'ruf menjelaskan, dalam ajaran Islam ada ajaran yang tetap dan tidak berubah (tsawabit) dan ajaran yang memungkinkan untuk berubah (mutaghayyirat). Menurutnya, untuk ajaran Islam yang tetap, tidak ada celah untuk mengubahnya.
Sedangkan yang memungkinkan diubah, leluasa untuk dilakukan perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.
Terkait hal ini, kata dia, para ulama telah merumuskan perangkat metodologi untuk melakukan perubahan tersebut.
"Orang yang beranggapan ajaran Islam semuanya tsawabit dan alergi pada perubahan atau beranggapan ajaran Islam semuanya memungkinkan untuk berubah, maka bisa dipastikan orang tersebut tidak memahami ajaran Islam itu sendiri," ujarnya.
Menurutnya, ajaran Islam yang masuk kategori tetap adalah ajaran yang berlandaskan nash yang qat`iyus tsubût wad dalâlah atau teks-teks Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan sumber dan arti yang pasti atau absolut. Serta masalah-masalah yang termasuk dalam kelompok ma’lûmah min ad-dîn biddharûrah yakni ajaran-ajaran agama Islam yang sudah diketahui secara jelas oleh umat Islam.
Sedangkan yang terkategori bisa berubah ialah ajaran yang berdasarkan nash yang zhanniyus tsubût wad dalâlah atau teks-teks Al-Quran dan Hadits yang menunjukkan sumber dan arti yang relatif atau tidak pasti serta yang tidak ada nash sama sekali.
"Ajaran islam ada di kategori mutaghayyirat merupakan hasil ijtihad yang jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang tsawabit dan terbuka luas bagi yang memiliki cukup syarat untuk melakukan perumusan fiqih baru yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban," ujarnya.
Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu pun menilai NU sebagai organisasi keagamaan kemasyarakatan telah memiliki cukup syarat untuk merumuskan fikih baru tersebut. NU selama ini dikenal memiliki prinsip pemahaman keagamaan yang dinamis dan kontekstual.
Dia mengatakan, NU sejak tahun 1992 melalui Munas Alim Ulama di Lampung telah memiliki sistem dan prosedur pengambilan hukum yang lengkap, termasuk manhaj istinbathi. Dengan demikian NU dalam merespons berbagai masalah tidak hanya menggunakan fikih qauli tetapi juga fikih manhaji.
Dia melanjutkan, melalui Munas Alim Ulama tahun 2006 di Surabaya, NU telah menetapkan karakteristik (khashâish) cara berpikir NU (fikrah nahdliyah), yaitu: Tawassuthiyah, Ishlâhiyah, Tathawwuriyah, Manhajiyah.
"Oleh karena itu, sudah pada maqamnya NU ikut aktif mengurai dan memberikan jawaban terhadap masalah-masalah global yang terjadi pada era peradaban modern dewasa ini," ujar Kiai Ma'ruf.