Rabu 01 Feb 2023 20:53 WIB

Sholat di Akhir Waktu Lalu Terdengar Adzan Sholat Berikutnya, Apa yang Mesti Dilakukan?

Sholat pada dasarnya harus dilakukan pada awal waktu

Rep: Zahrotul Oktaviani / Red: Nashih Nashrullah
Ilustrasi sholat. Sholat pada dasarnya harus dilakukan pada awal waktu
Foto: Prayogi/Republika.
Ilustrasi sholat. Sholat pada dasarnya harus dilakukan pada awal waktu

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Dalam Islam, terdapat lima sholat wajib yang harus dipenuhi setiap harinya. Di tiap waktu sholat, telah ditentukan batas-batas awal dan akhir, yang ditandai dengan panggilan adzan. 

Lantas, bagaimana hukum dalam Islam ketika baru melaksanakan sholat beberapa rakaat dan terdengar suara panggilan sholat atau adzan untuk waktu sholat berikutnya? Apakah sholat yang sebelumnya dianggap sah? 

Baca Juga

Dalam artikel yang diunggah PBNU di laman resminya, Ustadz Ahmad Muntaha mencoba menjelaskan perkara ini. Dia menyebut, sah atau tidaknya suatu sholat tergantung pada syarat dan rukunnya. Selama hal ini terpenuhi, maka sholatnya dikatakan sah. 

Berkaitan dengan pernyataan di atas, hal ini pun tetap dikatakan sah selama rukun dan syarat itu terpenuhi. Status sholatnya pun dianggap sebagai sholat ada' atau yang dilaksanakan dalam waktunya. 

"Adapun berkaitan dengan berdosa atau tidaknya, karena sebagian sholatnya terlaksana di luar waktunya maka dilihat-lihat," ucap dia.

Ustadz Ahmad menyebut perlu diperhatikan apa yang menjadi penyebab seseorang ini melaksanakan sholat hampir mendekati waktu sholat lainnya. Jika tertidur, apakah memang benar-benar tertidur tanpa sengaja atau sehingga dianggap sebagai uzur, atau tidak. 

"Bila benar-benar tertidur tanpa sengaja maka tidak berdosa, dan bila sengaja tidur lalu tertidur sampai hampir kehabisan waktu untuk melaksanakan sholat sesuai waktunya, maka berdosa," lanjutnya. 

Imam Ibnu Hajar Al-Haitami menjelaskan dalam Kitab Tuhfatul Muhtaj:

 وَمَنْ وَقَعَ بَعْضُ صَلَاتِهِ فِي الْوَقْتِ) وَبَعْضُهَا خَارِجَهُ (فَالْأَصَحُّ أَنَّهُ إنْ وَقَعَ) فِي الْوَقْتِ مِنْهَا (رَكْعَةٌ ) كَامِلَةٌ بِأَنْ فَرَغَ مِنْ السَّجْدَةِ الثَّانِيَةِ (فَالْجَمِيعُ أَدَاءٌ وَإِلَّا) يَقَعْ فِيهِ مِنْهَا رَكْعَةٌ كَذَلِكَ (فَقَضَاءٌ) كُلُّهَا. سَوَاءٌ أَخَّرَ لِعُذْرٍ أَمْ لَا لِخَبَرِ الشَّيْخَيْنِ: مَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنْ الصَّلَاةِ فَقَدْ أَدْرَكَ الصَّلَاةَ، أَيْ مُؤَدَّاةً  ... وَلَا خِلَافَ فِي الْإِثْمِ عَلَى الْأَقْوَالِ كُلِّهَا كَمَا يُعْلَمُ مِنْ كَلَامِ الْمَجْمُوعِ أَنَّ مَنْ قَالَ بِخِلَافِ ذَلِكَ لَا يُعْتَدُّ بِهِ

Artinya, “Dan orang yang sebagian sholatnya terlaksana di dalam waktu dan sebagian di luar waktu, maka menurut qaul ashah statusnya diperinci. Bila ada satu rakaat sempurna yang terlaksana di dalam waktu, yaitu ia telah selesai melakukan sujud kedua dalam rakaat itu, maka statusnya adalah sholat ada’ semua, dan bila tidak ada satu rakaat sempurna yang terlaksana di dalam waktu seperti itu, maka semuanya berstatus qadha’, baik dia menunda sholat karena uzur atau tidak.

 

Hal ini karena hadits riwayat Imam Al-Bukhari dan Imam Muslim: ‘Orang yang menemukan satu rakaat dari sholat, maka sungguh ia telah menemukan sholat secara ada,’ … Namun demikian tidak ada perbedaan pendapat tentang dosanya sholat seperti itu dengan merujuk seluruh pendapat seluruh ulama dalam masalah ini, sebagaimana diketahui dari penjelasan Imam An-Nawawi di Kitab Al-Majmu' bahwa ulama yang berpendapat dengan pendapat yang bertentangan dengannya, maka tidak dianggap benar," (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj pada Hawasyis Syirwani wal ‘Abbadi, [Beirut, Darul Fikr], juz I, halaman 435).

Syekh Abdul Hamid As-Syirwani kemudian memberi catatan, maksud ulama sepakat pelaku sholat seperti itu berdosa adalah bila tertundanya sholat memang karena kecerobohan tanpa ada uzur yang dapat diterima.

Dia menegaskan:

 قوله: (ولا خلاف في الاثم الخ) أي إن كان التأخير بغير عذر.

Artinya, “Ungkapan Imam Ibnu Hajar: ‘Tidak ada perbedaan pendapat tentang dosanya sholat seperti itu,’ maksudnya jika tertundanya sholat tersebut tanpa uzur atau karena kecerobohan pelakunya.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hasyiyah As-Syirwani, juz I, halaman 435).  //   Zahrotul Oktaviani

 

 

Sumber: NU 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement