REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meminta partai politik, politisi dan berbagai pihak untuk mengedepankan cara-cara berpolitik yang bersih serta menjunjung tinggi etika. PBNU mendorong agar para tokoh-tokoh agama seperti kiai atau ibu nyai di lingkungan pesantren tidak dimanfaatkan untuk kepentingan politik yang bersifat praktis.
Ketua PBNU Ishfah Abidal Aziz mengatakan, kiai atau ibu nyai memiliki tugas sangat luhur dalam mencetak generasi bangsa yang berpendidikan sekaligus berakhlak mulia. Seperti di lingkungan pesantren, peran kiai adalah mengasuh dan mengajar santri serta mendidik agar mereka bisa menjadi pribadi yang mandiri. Tak hanya itu, peran kiai atau ibu nyai juga sangat besar dalam mengajarkan akan kecintaan terhadap bangsa dan negara.
"Intinya kiai atau ibu nyai tugasnya mendidik secara mendalam tentang pengetahuan keislaman dengan harapan santri bermanfaat untuk masyarakat. Tidak tepat jika tugas kiai malah dimanfaatkan untuk tujuan pendek, apalagi sekadar menjadi jurkam (juru kampanye)," ujar Ishfah di Jakarta, Rabu (18/1/2023).
Menurut Ishfah, pemanfaatan kiai atau ibu nyai dalam percaturan politik praktis justru mengerdilkan peran strategis para tokoh dan pemuka agama. Di sisi lain, ada tugas lebih besar yang diemban mereka baik dalam pendidikan ataupun dakwah. "Seperti di tengah masyarakat, peran kiai benar-benar menjadi teladan, mendamaikan ketika terjadi perselisihan, memberikan pencerahan, dan menjadi solusi terhadap problematika umat," tandasnya.
Ishfah berharap, kepada para pihak yang bermaksud memanfaatkan para kiai, ibu nyai dan tokoh agama, bisa berpikir jernih dan tidak hanya untuk tujuan-tujuan kepentingan politik pendek. Selain akan mendegradasi tugas utama mereka, hal ini juga rawan memicu kegaduhan di tengah masyarakat. Sebaliknya, Ishfah justru sangat berharap para kiai menjadi garda terdepan untuk menebarkan nilai-nilai kedamaian. "Sangat rawan sekali jika kiai atau ibu nyai terjun ke politik, sulit untuk lepas dari potensi pemanfaatan politik identitas keagamaan, termasuk bawa-bawa bendera ormas," jelasnya.
Menurut Ishfah, melalui keputusan NU yang kembali ke Khittah 1926, NU dengan tegas mengembalikan perjuangan organisasi seperti saat awal didirikan, yakni dakwah keagamaan dan sosial kemasyarakatan (jam’iyyah diniyyah ijtima’iyyah). "Tegas sekali tujuan NU bukan untuk melanggengkan politik praktis. Apalagi menggunakan organisasi untuk tujuan politik tersebut," tegasnya.