Oleh karenanya, Imam Shamsi Ali menyebut hal pertama harus disadari adalah sifat Allah SWT dalam memberi rezeki pada umumnya dieskpresikan dengan “Ar-Razzaq” atau “Yang Maha Pemberi rezeki secara berlebihan dan terus-menerus”.
Dalam kaidah bahasa Arab, bentuk kata seperti ini disebut bentuk “tafdhiil” (melebihkan). Ini menunjukkan bahwa Allah SWT itu memberikan rezeki-Nya secara terus menerus, sehingga sejatinya dirasakan dengan perasaan “Qana’ah” (berkecukupan).
"Kesadaran lain yang harus dibangun dalam menyikapi rezeki adalah pembagian rezeki secara kuantitatif merupakan hak prerogatif Allah SWT," lanjutnya.
Allah SWT memberikan rezeki-Nya kepada siapa yang Dia kehendaki, bahkan di luar batas kalkulasinya (lihat misalnya Al-Baqarah: 212).
Suatu ketika Umar r.a. menulis surat kepada Abu Musa Al-Asy’ari. Dalam suratnya ia menulis: “dan belajarlah puas dengan rezeki dalam kehidupan duniamu. Karena sesungguhnya Yang Maha Rahman (Allah) melebihkan sebagian di atas sebagain manusia dalam rezeki. Allah timpakan ujian pada masing-masing (yang banyak atau yang sedikit). Maka Dia (Allah) menguji siapa yang dikarunia rezeki lebih untuk mensyukurinya dan bagaimana menggunakan karunia itu secara baik dan benar (diriwayatkan Ibnu Hatim).
Awas hasad...