REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat mendorong kepada pemerintah Indonesia untuk menjadi juru damai atas konflik yang terjadi di dunia saat ini. Hal ini ditegaskan dalam acara Refleksi Akhir Tahun yang digelar Komisi Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional (HLNKI) di Aula Buya Hamka, Kantor MUI Jakarta, Rabu (21/12/2022).
Dalam acara ini, Ketua Bidang HLNKI MUI Prof Sudarnoto Abdul Hakim menjelaskan, peran MUI bidang hubungan internasional didasarkan kepada amanat Pembukaan UUD 1945, prinsip Wasathiyyatul Islam dan untuk misi Rahmatan lil Alamin.
Karena itu, menurut dia, MUI mendorong pemerintah, antara lain untuk meneguhkan politik Indonesia bebas aktif dan tampil sebagai juru damai terutama dalam menyelesaikan atau mencari solusi terhadap konflik, misalnya Israel-Palestina dan Rusia-Ukraina.
"Di samping itu, MUI sendiri secara proaktif juga memainkan peran second track diplomacy yang diarahkan untuk khidmatul ummah (mengabdi kepada umat) dan himayatul ummah (melindungi umat) terutama terkait dengan berbagai masalah politik yang dihadapi oleh umat Islam dan negara-negara Muslim," ujar Sudarnoto dalam siaran pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (21/12/2022).
Secara umum, menurut Sudarnoto, situasi global tahun 2022 belum menunjukkan perbaikan secara siginifikan dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Situasi yang sama juga mewarnai umat dan negara-negara Muslim.
Bahkan, 2022 nampak semakin memburuk sebagai akibat pandemi Covid-19, masih belum terselesaikannya isu Palestina-Israel, perkembangan dan situasi politik di Afghanistan yang belum menentu, dan Islamofobia yang terjadi di sejumlah negara seperti India, Swedia, dan Prancis.
Sudarnoto juga menyoroti situasi politik global lainnya. Ia menyampaikan seperti tahun-tahun sebelumnya, pada 2022 dunia masih diwarnai dengan praktik ketidakadilan global yang secara politik dan ekonomi antara lain juga dialami oleh orang-orang Islam di banyak negara. Dominasi neo-kapitalisme dan neo-liberalisme telah melanggengkan kesenjangan ekonomi, ketidakadilan dan bahkan kemiskinan di banyak negara, apalagi ditambah dengan efek pandemi Covid-19.
“Lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti IMF ternyata justru gagal mewujudkan kesejahteraan dan keadilan global. Atas nama bantuan internasional, IMF melakukan program-program bantuan yang ternyata justru menimbulkan kesulitan dan kesengsaraan baru yang dialami oleh negara-negara pengutang. Hal ini sangat berpotensi besar mengakibatkan kerawanan sosial dan konflik,” kata Sudarnoto.
Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menjelaskan, seruan MUI yang menegaskan perlunya dilakukan proses demokratisasi di internal PBB masih sangat relevan hingga tahun 2022 ini. Demokratisasi di PBB ini diwujudkan secara konkret dengan dua cara.
Pertama, menurut dia, menetapkan secara konsisten mekanisme pembahasan pengambilan keputusan terutama di sidang DK PBB dalam rangka penyelesaian konflik dan penciptaan perdamaian. Kedua, meninjau ulang, menghapuskan atau membatasi penggunaan Hak Veto.
“Veto jangan digunakan untuk persoalan-persoalan yang justru bisa memberikan ruang lebar untuk lakukan aneksasi, apartheid dan genosida yang dilakukan oleh siapapun. Hal ini sangat diperlukan antara lain dalam rangka memudahkan upaya-upaya mewujudkan dan memperkokoh perdamaian dan keadilan global,” kata Sudarnoto.