Selasa 29 Nov 2022 15:50 WIB

KH Shodiq Hamzah Raih DR HC Berkat Tafsir al-Bayan Dalam Bahasa Jawa Kromo

Tafsir dengan bahasa Jawa kromo memudahkan masyarakat memahami Alquran

Rep: bowo pribadi/ Red: Muhammad Subarkah
KH Shodiq Hamzah
Foto:

Menurutnya ada tiga hal penting yang menjadi dasar pemikiran ini, yakni fleksibilitas Alquran melalui ragam lughah dan qira’at guna mengakomodir perbedaan karakteristik masyarakat, jatidiri Alquran yang mudah diakses oleh berbagai kalangan serta landasan pemikiran yang perlu diperhatikan penafsir Alquran sebagai penyampai risalah agama.

Dalam penjelasannya, KH Shodiq Hamzah menampaikan Allah SWT berfirman: ‘Tidaklah Kami mengutus seorang rasul kecuali dengan lisan kaumnya, supaya rasul tersebut menjelaskan kepada kaumnya… (Q.S. Ibrahim/14: 4)

Al-Syaukani dalam tafsir Fath al-Qadir menjelaskan, ayat ini merupakan petunjuk bahwa Rasulullah yang diutus kepada suatu kaum pastilah mempunyai kemampuan berbicara sesuai bahasa kaumnya guna.

Hal ini tidak lain untuk memudahkan kaumnya. Tidak dapat dibayangkan betapa susahnya sebuah kaum jika rasul yang diutus tidak berbicara dengan bahasa mereka,. “Tentulah akan sangat menyusahkan dan membutuhkan waktu yang lama bagi kaum tersebut untuk belajar memahami ucapan Rasulullah,” tegasnya.

Oleh karena itu, ayat ini ingin menunjukkan bahwa meskipun Nabi Muhammad SAW diturunkan untuk semua umat manusia, bahkan untuk kalangan jin, tetapi Alquran diturunkan dalam bahasa Arab.

Karena saat itu Nabi diutus di kalangan masyarakat Arab, sehingga bahasa Arab lebih sesuai dan mendekatkan pemahaman bangsa Arab, dibandingkan jika dihadirkan dengan semua bahasa, yang justru akan mendatangkan kemadharatan.

Sementara, Imam Nawawi al-Bantani dalam tafsir Marah labid berpendapat bahwa risalah/ ajaran nabi berlaku umum untuk semua makhluk. Oleh karena itu siapapun yang mengemban tugas menyampaikan risalah, inilah maksud dari “kedisinian”.

Ssebuah upaya mendialogkan ajaran- ajaran agama dengan kondisi lokalitas suatu masyarakat, sehingga pemahaman agama yang dilahirkan dapat diterima secara damai dengan kultur dan budaya suatu masyarakat di suatu tempat tanpa harus menghancurkan tradisi yang sudah tertata dengan baik.

Termasuk bentuk usaha mewujudkan kedisinian dalam proses menafsirkan Alquran adalah menumbuhkan kesadaran seorang mufasir, bahwa apa yang akan diungkapnya melalui ayat- ayat Alquran adalah untuk kemashlahatan manusia/ masyarakat yang menjadi tanggung jawabnya.

Sampai saat ini banyak  kitab- kitab tafsir yang dihasilkan para ulama dengan jumlah halaman yang sangat tebal dan di dalamnya tertuang banyak wawasan, informasi yang menunjukkan kepakaran seorang mufasir. Tetapi --bisa jadi-- belum banyak mengandung jawaban dari masalah sederhana yang dialami masyarakatnya.

“Oleh karena itu, pemahaman kedisinian mengajak seseorang yang akan menafsirkan Alquran mampu menghadirkan penafsiran- penafsiran yang dapat menjawab problem yang dialami masyarakat lokal tempat ia hidup dan menyajikannya dengan bahasa yang mudah dimengerti.

Untuk itu ia mencoba memberikan sumbangan kecil melalui Tafsir al-Bayan yang dalam penulisannya menggabungkan antara tradisi penulisan Jawa pegon dengan tulisan latin.

Dengan harapan siapapun masyarakat Jawa --baik yang dari kalangan pesantren ataupun tidak--  tetap dapat mengambil manfaat dari kitab ini. Demikian spirit dari bilisani qaumihi, yakni penafsiran menjunjung tinggi nilai- nilai kekinian dan kedisinian.

Penafsiran yang mengandung nilai- nilai kontekstual sekaligus bakal menjaga lokalitas dan memberikan solusi nyata –khususnya-- bagi masyarakat di mana seorang mufasir berada. “Sehingga keberadaan agama yang menjadi risalah nubuwwah dalam Alquran sebagai sebuah solusi dapat benar- benar dirasakan oleh masyarakat,” jelas KH Shodiq hamzah.// n bowo pribad

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement